Sunday, April 30, 2006

GILA

Seperti biasa kembali aku tertegun cukup lama setiap melihat orang - orang gila dengan banyak tingkah yang di"pertontonkannya" di pinggir jalan. Tidak menunggu lama dalam benakku untuk kemudian diberondong dengan banyak pertanyaan :" sedang berada di dunia mana mereka? dunia seperti apa yang saat ini mereka tangkap dalam inderawi mereka yang masih waras? masih punyakah mereka kemampuan untuk membedakan batas realitas dan ilusi hingga kadang sesekali mereka masih "nyambung" untuk diajak berpijak ke bumi? adakah rasa yang bisa menghinggapi hati mereka di luar "peran kegilaan"-nya? ".

Dan sekali lagi aku harus menemukan diriku dibaluri dengan
kekecewaan karena jawaban dari semua itu adalah : kosong. Ya ..... sama kosongnya dengan tatapan mereka, tatapan yang hampir menembus garis batas cakrawala, entah sampai dimana sorot mata itu menemukan objek pandangnya.

Jika kemudian acuh yang menghinggapi benak kita, menyadari bahwa sebenarnya pada batas tertentu ketika asa, harapan, idealita dan segala hal yang kita inginkan terlalu jauh membumbung meninggalkan landasan realita, adalah satu keniscayaan kita akan mengalami kegilaan - kegilaan dengan kadar yang ditentukan oleh gap mimpi - realita, serta seberapa besar dan lapang jiwa kita untuk bisa menyediakan "keranjang sampah" bagi kekecewaan - kekecewaan.

" Iki jaman edan sing ora edan ora keduman ( ini jaman gila, yang tidak gila tidak kebagian ) " demikian ungkapan yang barangkali turut melembagakan, memberikan legitimasi orang-orang di jaman post-modern ini untuk mencicipi kegilaan, artinya bahwa kewarasan ( baca : kewajaran ) adalah kegilaan itu sendiri, paradoksisasi etika, pe-negasi-an ( baca :logika terbalik ) standar nilai positif menjadi suatu kelumrahan yang bisa dimaklumi dan mendapat anggukan orang-orang yang terjangkiti kegilaan. Sehingga sampai di sini kita akan garuk - garuk kepala ketika diminta untuk mendikotomikan dan membuat definisi antara gila dan waras.

Dan agama - agama sebagai "penjaga gawang" nilai - nilai kebaikan kehidupan, masing - masing akan membuktikan perannya untuk menangkal absurbsitas batas-batas nilai. Karena muara dari kegilaan ini adalah suatu keresahan, kepenatan yang amat sangat akan nilai-nilai materialistik untuk kemudian titik balik dari semua itu adalah bahwa para pelaku kegilaan ini akan kembali ke "rumah" yang lama ditinggalkannya yakni spritualitas.

Di sini proses seleksi alamiah akan terjadi bagi agama - agama dimana "religio etik" suatu agama yang konsisten, jelas namun dinamis akan menjadi pemenang.

"Innaddina indallohil Islam ......." begitu firman ALLOH SWT sekaligus menjawab permasalahan di atas, bahwa kemudian yang diharapkan dengan pedoman hidup yang jelas ini adalah adanya sinergisitas potensi yang ada pada diri manusia : fisik, akal dan hati ( jiwa ) sebagai makhluk-Nya hingga terwujudnya " kuntum khoiru ummah ukhrijat linnas ........ " serta " wamaa arsalnaaka illarahmatan li'alamin .........." .

Dan dari ketiga komponen tersebut, hati ( jiwa ) lah yang memiliki peran terbesar, karena nilai keberhargaan manusia yang paling utama adalah dilihat dari sisi holistiknya, orang - orang gila tadi contohnya.


O, April 2006
PS : bagi pembaca yang bingung dengan tulisan di atas,jangan kuatir dan minder bahwasanya tidak ada yang salah dengan IQ anda, yang terjadi hanyalah bahwa saya sedang "overdosis" mengkonsumsi buku filsafat ^_^

Friday, April 28, 2006

Pelacur

Barangkali tidak usah lah kita sebut mereka dengan eufimisme-eufimisme yang melenakan ; tuna susila, kupu-kupu malam, penghibur, atau apalah itu, kalau dengan istilah - istilah pemanis itu semakin mengukuhkan sikap kita untuk acuh pada mereka,kalau dengan itu akan menghapuskan jurang pemisah antara kehormatan dengan kenistaan. Bahwa kemudian frame berfikir yang melahirkan sikap kita, dimulai dari cekokan - cekokan istilah untuk melabeli suatu objek, pelacur tetaplah pelacur; hina, nista dan Tuhan melaknatnya , " eufimisme ada batasnya ....." demikian tutur seorang cendikia.

Dan tidak usah lah kita bertanya "siapa?" sementara para wanita yang mengais rejeki dengan menjajakan kemolekan tubuh itu pun tidak pernah bertanya mengapa mereka harus setia bergumul dengan lumpur dosa itu. Sama halnya dengan pertanyaan yang tidak pernah muncul di benak orang - orang yang tak pernah lelah memandang mereka dengan hina tapi diam - diam merindukan kehadirannya, dan seabreg penistaan itu tak pernah lelah pula harus dibalas dengan memajang senyum di wajah dan sentuhan - sentuhan manja betapa pun raja kesedihan sedang bertahta dalam jiwa. Barangkali keluhan, umpatan,lara dan selaksa kekecewaan hanya bisa mereka uapkan dalam lenguhan-lenguhan panjangnya.

Bisnis kelamin adalah lingkaran setan yang terlalu kompleks untuk memuaskan rasa ingin tahu kita dimana awal mulanya, dan siapa yang patut di-duduk-an di kursi tersalah. Ada permintaan - ada produsen, dan ada pula para "makelar" yang barangkali tidak pernah kita sangka sebagian besar adalah orang terdekat dan sejatinya patut untuk melindungi mereka : pacar, suami,penguasa ( baca : pemerintah ), bahkan mungkin bapak- ibu mereka.

Kalaupun kita melihat mereka mengumbar senyum, sejatinya bukanlah sebuah kebahagiaan : pertama, karena senyum mereka lah salah satu komoditi yang bisa dibarter dengan beberapa lembar rupiah. Kedua, karena hanya itulah satu-satunya keceriaan yang bisa diramu agar esok masih bisa berbinar untuk menghirup udara dan menantang sengatan sang surya.

Toh demikian, perlukah kenistaan itu dilekatkan juga untuk jiwa - jiwa mereka?. Jiwa yang betapa pun kotor pekerjaan mereka, ada suatu kerinduan yang berbisi-bisik dalam hati bahwasanya mereka juga ingin menjadi wanita terhormat, dipandang tidak dengan kacamata sejarah kelam, mendongak bangga, atau juga dalam keheningan malam selepas letih "bekerja" ada pesan - pesan yang dititipkan pada angin agar suatu waktu Tuhan tidak lagi memandang mereka dengan wajah murka.

Ya ....... selain segudang cercaan, terlalu sedikit - lebih tepatnya tidak ada - kontribusi yang sudah aku berikan untuk "tubuh - tubuh kotor" itu hingga ucapan lirih seorang ustadz - seolah- olah juga sebuah refleksi diri - terngiang : "masuk surga, orang yang bisa memyelamatkan para pelacur itu dari lembah dosa .....". Dan tiba - tiba ada kegetiran yang memapahku membumbungkan doa untuk mereka serta tidak putus - putus mengelus dada sembari bergumam : astaghfirulloh ..................

O, April 2006

Umam - Suudi, Kawanku

Senja itu buru - buru kutahan kristal bening yang sudah menggantung,cengengkah aku? barangkali, tapi andaikan aku tidak takut kalian merasa dikasihani - satu hal yang tentunya paling kalian benci - maka tumpah sudah cairan cinta itu atau apa saja lah yang dapat mengatakan bahwasanya aku teramat menyayangi kalian.

Kerdilnya aku dihadapanmu sobat,betapa kalian begitu teguh untuk tetap bertahan mengarungi takdir kehidupan yang tidak pernah sepi dari cobaan. Dan dengan wajah kusut masai, sore itu kalian hadir, membagi seserpih kisah, yang aku tahu bukan wujud keputus asaan tapi sekedar berbagi dan mengajariku tentang hidup ini yang tidak selamanya ramah pada kita, " ini pengorbanan wan ........" ungkap kalian tulus. Hingga sekali lagi aku tersentak bahwa memang menjalani kehidupan ini, seperti kata Goenawan Muhammad ; " tidak sepanjang waktu kita menjadi pedagang kelontong ...... ", "........ tak usahlah kita selalu berhitung rugi - laba .....". Ah......sobat, waktu tidak menggerus idealisme kalian rupanya.

Senja itu di bibir telaga, masing- masing dari kita mengurut - urut masa lalu, dan setelah itu kita pun tersenyum getir menyaksikan bahwa sang waktu begitu cepat berlari sementara jaman semakin tidak menyisakan ruang untuk orang - orang idealis seperti kalian.
Oposan Tuhan? aku tahu bukan itu pilihan kalian, betapa pun teramat sering kalian harus "bermesraan" dengan saat - saat gigi harus ber-gemeretak dan kaki yang lunglai menyusuri lorong -lorong gelap jaman, aku begitu mengetahui bahwa kalian sangat memuja-Nya.

Tasawuf, dahulu - saat masih duduk di bangku SMP - awal mula kegandrungan yang mengikat kita,sekalipun kita masih teramat lugu untuk mengerti tentangnya. Betapa pun memang kegemaran itu masing - masing dari kita berasal dari motivasi yang berbeda,Umam dengan basic culturalnya, Suudi karena sebuah pelarian, sementara aku yang sejak lama sudah jatuh cinta dengan dunia sofistik, satu persamaan kita : keresahan.

Dan kini sejarah mengantarkan kita dengan wajah kebijakan yang berbeda, kebijakan kalian yang benar-benar telah teruji dengan pahit getir jaman sementara aku masih berjibaku dengan logika-logika dan angka.

Ah.....sobat,mari kita berjongkok di pojok sejarah dan ajari aku untuk jadi Musa di tengah tirani Fir'aun pada jamannya .........

0, April 2006

Tanya , Kenapa?!!!

Socrates mati karena dia terlalu banyak bertanya " kenapa?", bahwasanya pertanyaan " kenapa? " atau yang serupa dengannya selalu tidak dikehendaki para pemilik otoritas kemapanan suatu sistem. Budaya carangan, punk, kontra-mainstream, selalu menjadi sesuatu yang menjijikan bagi para pejalan tradisi, pertanyaan "kenapa?" selalu dijadikan kambing hitam para tiran sebagai penyebab instabilitas sistem maka patut kiranya menurut mereka segala hal yang melawan arus untuk dilenyapkan, pertanyaan "kenapa?" selalu ditengarai merobek-robek kesunyian - karena kebisuan untuk berkata " tidak " - yang menimbulkan arus perlawanan, perubahan. Betapa pun memang pada konteks tertentu pertanyaan " kenapa ? " harus menyadari "maqom-nya", sadar dengan batas-batasnya.

Patut kiranya kita bertanya: kenapa harus ada tangis sementara pada saat yang sama ada orang yang tergelak?, kenapa harus ada rasa sakit sementara di waktu yang bersamaan ada orang orang yang puas - tanpa bersalah - telah melukainya?, kenapa ada kelaparan sementara di sekelingnya pemilik perut tambun berseliweran?.

Salah Tuhan? tentunya bukan, karena pada prinsipnya mekanisme untuk memilih antara kebaikan dan kebatilan telah diberikan perangkatnya "build in" pada diri manusia. Hanya barangkali jawaban yang paling cocok adalah seperti kata Ali Jinnah : " bumi ini cukup untuk memenuhi hajat hidup semua penduduk bumi, namun tidak cukup untuk mengisi satu perut orang serakah ".Ya, adakah keserakahan pernah bisa bertemu dengan kata cukup?, adakah keserakahan pernah bergandengan tangan dengan keadilan?

Di antara sederet keserakahan itu adalah : Freeport yang memeras habis kekayaan alam bangsa-bangsa berkembang, koruptor yang menindih 60 juta rakyat miskin di Indonesia, imperialisme Amerika kepada negara - negara lawannya, Israel kepada Palestina, dan barisan panjang dibelakangnya.

Bahwa kemudian dengan bertanya " kenapa?" adalah pantang bagi kita untuk menunduk-nunduk pada para tiran, satu kata : LAWAN !!!!!!, hingga barangkali nasib kita nantinya tidak jauh berbeda dengan Socrates, tapi "minimal" kehormatan kita adalah dengan masih hidupnya hati kita.

O, April 2006

Thursday, April 06, 2006

Saat Si Togog Kebakaran Jenggot

Saat Si Togog Kebakaran Jenggot

" Edan ......gawat bener-bener gawat......." cerocos Togog, mengoyak kenyamanan tidur Kiai Semar
" Hhhuuua.....ada apa sih Gog, ganggu orang tidur aja....." tanya Kiai Semar sembari membenahi posisi tidurnya yang terusik suara parau si Togog
" Edan pokoknya edan Ki ....... masa' itu tuh ......edan....."sengit togog
" Edan opo toh Gog? edan gundulmu, gawat udelmu .........ngomong yang jelas " Kali ini Kiai Semar benar - benar mulai bersungut - sungut tapi tetap mencoba untuk mengatur emosinya agar tidak tertular kepanikan si Togog yang nggak tahu kena setan darimana dia,nyerocos ngalur ngidul.
"Gini mbah..."
"Mbah udelmu bodong ....."
" Sorry Ki, apa nggak edan coba?masa' si Bima mau nyalonin diri jadi presiden Ngastinapura nglangkahi hasil syuro para pandawa dan sesepuh yang hanya merekomendasikan si Yudistira, bakal calon presiden Ngastinapura. Coba Ki, apa nggak edan? "
" Lho yang jadi masalah apa Gog? sampe kau bela-belain panik kaya gitu?..."
"Gimana sih Ki, malah tenang-tenang aja....."
"Trus disuruh ngapain? teriak-teriak kesetanan kaya kamu ? ....."
"Ya nggak papa teriak-teriak asalkan itu memang yang harus dilakukan, sebagai wujud keresahan atau lebih tepatnya kepedulian....." elak Togog
"Kepedulian yang aneh ...... apa kau kira sebuah kepedulian tidak bisa bersemayam di dada dalam keheningan,kebisuan, bermesraan dengan kesunyian, mengendapkan hati, berfikir jernih ....." terang Kiai Semar sok filosofis
" Yo wis, pokoknya gawat..... dan Kiai Semar selaku sesepuh yang disegani oleh majelis syuro Ngastinapura harus bertindak ......"Togog mulai kumat lagi
"Bertindak gimana?disuruh ngapain aku?lagian masalahnya di mana?wong si Bima yang ngajuin diri jadi presiden, kok kamu yang repot? atau jangan-jangan kamu iri ya? pengin juga nyalonin diri jadi presiden? ya udah nyalonin sana ...." tanya Kiai Semar sembari tidur-tiduran
"Kiai Semar Edan ....."
"Udah tahu gitu he...he..."
"Gini Ki, mana itu persatuan jamaah?mana itu ketsiqo-an jundi? mana itu materi -materi adabul jamaah,qiyadah wal jundiyah,mana?kalo untuk masalah pilih-memilih presiden aja kita udah terpecah belah? apa semua materi dauroh-dauroh itu menguap sedemikan rupa?hingga sekarang kader dakwah kita hanya memahami aktivitas ini tidak lebih sebuah karier? jabatan-sebuah amanah-menjadi rebutan? gawat kan? ini tidak sekedar masalah pemilihan presiden Ngastinapura periode ini, bisa jadi ini yang terjadi di bawah dan kalo seperti itu berarti nasib buruk sudah menimpa jamaah ini......"cerca Togog
"Jangan sok generalis dan reaksioner kaya gitu dong Gog, pilah-pilih dulu masalahnya apa? berfikir out of box lah...."Kiai semar sok Intelek
" Trus gimana?......."Togog mulai tenang tapi guratan emosi masih nongol di wajahnya yang memang tidak bisa dibilang enak dipandang itu
"Ya berfikir lah dari sisi lain......berfikir lah dari sudut pandang Si Bima misalnya, coba bayangkan bagaimana perasaan Si Bima waktu tahu kalo pada akhirnya Si Yudistira yang akhirnya dicalonkan oleh jamaah sementara saat Si Bima dan para pandawa yang lain - kecuali Yudistira- berjibaku menjaga Ngastinapura dari tangan-tangan jahil dan kejahatan Kurawa dan kroco-kroconya, dimana Yudistira coba? dia lagi khusyuk tapabrata di puncak gunung Kawi. Wajar kan secara manusiawi kalo Bima merasa lebih layak?lebih mampu secara pengalaman dan pengamalan?lebih berjasa dan patut untuk dicalonkan?minimal dengan pencalonan dia, baginya mungkin itu adalah sebuah "reward" untuk pengorbannya, apalagi secara personal pencalonannya sebagai bakal calon presiden Ngastinapura merupakan hak asasi manusia, Si Bima manusia, seperti kita; seneng nasi pecel Mak Dami, rawon mbak Sundari,teh tubruk cak Nari dan kenikmatan-kenikmatan dunia lainnya termasuk sebuah kepopuleran ,sebagai seorang manusia Bima punya keinginan-keinginan dan dari keinginan-keinginan itu Bima serta kita semua punya jatah manusiawi keinginan itu dilabeli salah dan benar dan kini tiba giliran keinginan Bima kita labeli salah "urai Kiai Semar membuat dua alis Togog bertaut
" Kok Kiai Semar jadi mbelain Si Bima? orang yang mbalelo? insilakh ....."Togog belum puas
" Bukan membela, dalam konteks jamaah Si Bima memang salah, tapi menyadari sisi manusiawi seseorang betapa pun ia seorang kader tulen-yang tingkat track recordnya tidak diragukan lagi- untuk dijadikan pertimbangan menyikapi suatu masalah adalah suatu keniscayaan..."lanjut Kiai Semar
" Trus Gimana? kita harus bangga dengan sikap si Bima? dan ikut-ikutan dukung Si Bima? kalo dasar pertimbangannya karena siapa yang berjasa, banyak yang berjasa dan lebih mampu untuk mencalonkan diri;arjuna, nakula,sadewa,petruk, gareng, atau siapa pun yang tidak ingin Kurawa berkuasa di bumi Ngastinapura.Selain itu belajar dari siroh, bukankah kebesaran Kholid bin Walid RA sebagai panglima perang muslimin yang tidak terkalahkan tidak membuat ia mutung, ngambeg, bughot saat Umar bin Khotob RA memecatnya dalam suatu peperangan? ...."
"Bukan gitu, sekali lagi dalam konteks jamaah Bima memang salah Gog, dan kalo berhenti pada vonis salah maka kita telah mendholimi Si Bima " jawab Kiai Semar
" Mbulet....."Togog tidak puas
" Dukungan kita dan kader-kader yang lain wajib kepada Yudistira,sekali lagi kepada YUDISTIRA,cuman untuk menyelamatkan Si Bima -agar tidak terlampau jauh dengan pilihanya yang salah- maka langkah pertama yang harus kita lakukan adalah dengan memahami keputusan Si Bima dari banyak "angle" yang sementara ini kita anggap salah tersebut, sehingga langkah-langkah persuasif kita tidak dengan mindset bahwa Si Bima mutlak salah, sehingga penyelamatan itu berbahasa hati dan ingatlah bahwa hati hanya bisa menerima sesuatu yang berasal dari hati juga, bahasa kerennya menggugah sisi afeksi si Bima. Kalo kau tanya kenapa kita harus menyelamatkan si Bima juga-"rival" kita- maka kamu harus surut ke belakang untuk memahami hakekat aktivitas jamaah ini sebelum berkoar-koar memvonis orang..." urai Kiai Semar sembari tak henti-hentinya menguap
" OK, sepakat .....berarti tugas kita sekarang lebih me-"rakyat bawah"-kan Yudistira agar bisa diterima semua kalangan sehingga Yudistira sukses untuk jadi presiden Ngastinapura, dan soal Bima semua kader harus menjadikannya sebuah ibroh bahwa aktivitas ini adalah aktivitas dakwah yang menafikan orientasi - orientasi selain untuk ALLOH Azza wa Jalla.....bukan gitu Ki.....Kiai semar.....?!!! "
" ZZZZZZZ BREWWWWRRRRRR.........."
"Uh dasar Semar gembul, semprul,........ngorok lagi ........" kata Togog sambil berlalu pergi


Ngastinapura, April 2006
Teruntuk saudara-saudaraku yang lagi berdebar-debar dengan gawe akbar kampus, GANBATE NE

Monday, April 03, 2006

Menikah, Ujian Kedewasaan ?

"Tua adalah keniscayaan, dewasa adalah pilihan", bahwasanya usia tidak selalu berbanding lurus dengan kedewasaan mungkin maksud dari ungkapan tersebut; ada yang badannya segede "DRUM" tapi tingkah dan mental masih seperti bocah. Dan itu yang saat ini kualami, hal ini kusadari beberapa waktu yang lalu, saat secara hampir bersamaan ada dua tawaran untuk menikah "disodorkan" kepadaku.
Tawaran pertama datang dari seorang ibu yang usianya lebih tua dibandingkan dengan ibuku, beliau adalah tetangga "mama" ku - sejatinya mama adalah bibiku-aku memanggilnya mama karena waktu kecil aku diasuhnya sebagai pengobat keinginannya untuk memiliki seorang putra yang imut ( emang sih harus aku akui waktu kecil aku imut banget...sorry sekali-kali boleh dong narsis ^-^ , gedenya aja amit-amit). Ibu tersebut memilki putri yang sedang kuliah di jurusan kedokteran sebuah perguruan tinggi di jawa tengah, ibuku yang saat itu mendapat tawaran, dengan halus menjelaskan bahwa ibuku bukannya pilih-pilih menantu -apalagi keluarga kami juga bukan kalangan berada yang bisa sok pilih bibit, bebet, bobot- tapi kalo' masalah pilihan untuk menikah dengan siapa dan kapan menyerahkan sepenuhnya kepadaku ( Thank's MOM, I LOVE U VERY MUCH ). Saat diceritain ibu soal tawaran itu aku cuman nyengir-nyengir aja ( dasar emang orang gebleg ).
Tawaran kedua datang dari seorang akhwat yang aku kenal tapi tidak tahu orangnya (perasaan, hampir sebagian besar akhwat yang kukenal, nggak pernah tahu orangnya kaya apa :) coz kata ustadz harus godhul bashor-menundukkan pandangan- jek....). Dalam satu pembicaraan dengannya- karena dia membutuhkan sesuatu- beberapa kali dia menanyakan sesuatu yang aku nggak "ngeh" juga, hingga akhirnya dengan agak berat (malu mungkin ) dia berujar ; " akh, gimana kalo kita tuker-tukeran biodata? ana udah ngerasa siap kok, ane juga udah ngomong ama ortu and MR,gimana akh?ini nomor HP MR ane .......".
" Ehhh.......ggggimana ya ukh, afwan ane belum siap, anti cari ikhwan lain yang lebih siap dan lebih baik dari ane aja ya ukh?" jawabku terbata-bata kaget dengan pertanyaan yang nggak dinyana aku bakal mengalami kasus "siti khodijah".
Glllleeek .....menikah?wah.......sekali lagi aku "merinding" dengernya, ternyata "masa" itu semakin dekat dan aku menertawakan kepengecutanku dengan menampik "ladang pahala " itu-laiaknya seorang bocah yang tidak menyadari bahwa di usianya yang ke-22 ada sebuah tanggung jawab kedewasaan dengan usia sekian - untuk mulai memikirkan amanah suci itu secara serius. Bukan kriteria yang menjadi permasalahanku, toh ...kalo boleh milih istri-orang yang dengannya aku berbelah nyawa-aku sih milih yang asal aja; asal sholeha, asal "cantik", asal sayang suami, asal sayang mertua ...he....he...
Masalahnya adalah bahwa aku merasa belum siap dan ini parahnya: aku tidak bisa secara jelas menstrukturkan apa definisi ketidaksiapan itu, hal inilah yang menyimpulkanku bahwa aku masih sangat "childish", sekalipun ada sebuah doa yang kurangkai, moga 2 - 3 tahun lagi niat untuk menggenapkan dien, diijabah oleh ALLOH SWT dengan pilihan hamba-Nya yang terbaik untuk ku, amien ya robbal'alamin, ampuni hamba-Mu ini ya ROBB....
Sembari menunggu masa itu tiba ; kuliah, berdoa, puasa, kerja menjadi ikhtiarku untuk dapat melewati masa lajang ini dengan gagah hingga terukir seulas senyum bidadari di ujung sana dalam penantian panjangnya, entah siapa .......

Dini hari di kota cinta dan perjuangan,awal April'06