Thursday, January 18, 2007

Untuk Sebuah Nama













untukmu,
yang mengaku begitu mengagumiku

kutulis risalah ini
bukan untuk membuatmu mabuk tentang kerendah dirian

apalagi,
menambah daftar kesempurnaan

tapi,
sejatinya aku lelaki biasa yang penuh kelemahan
dalam arti sebenarnya

engkau hanya,
tidak pernah melihat;
di balik teriakan nyaring itu

aku pernah ketakutan begitu rupa

di balik senyum itu
aku pernah berseduh sedan bak bocah

dan teramat sering,
tak kau lihat aku jatuh
tertatih
meringis sakit,
kemudian tertunduk lesu

untukmu,
yang diam-diam
menyediakan ruang hati untuk namaku

bahwa,
apa yang nampak
tak seelok adanya

bukankah sang candra indah

karena ia terlihat dari bumi?

engkau tidak salah,
hanya tidak pernah bersua
dengan kedalaman dan sisi gelap jiwa

untukmu,
yang menawarkan dermaga
untuk kelana jiwaku

maafkan,
bukan karena kekuranganmu
aku menampik berlabuh

bahkan,
mungkin engkau teramat mulia untukku

tapi,
saat ini

aku hanya ingin sendiri

dan biarkan jiwaku,
mengembara

belajar tentang;
kebersahajaan bumi
ketundukan rerumputan
dan kehormatan bintang-bintang

sampai kapan?
entahlah

maka,
terbanglah
lepaskan segala pasungan jiwa



Dini hari di kota Cinta, Penghujung 1427 H







Friday, January 12, 2007

Atas Nama Cinta



Barangkali semua dari kita tidak pernah mengetahui apa yang akan dilakukan Qois - Layla di "alam" sana, saat mengetahui tragedi percintaan mereka dijadikan sebagai simbol kesucian cinta.

Mungkinkah keduanya bersorak bangga atau mungkin pula si Qois akan bangkit dari persemayamannya kemudian meminjam tongkat Nabi Musa as, agar para pengaggumnya dilumat mentah-mentah oleh ular jelmaan tongkat itu laksana ular-ular "ciptaan" para penyihir raja Fir'aun yang menyadarkan penyihir-penyihir itu akan kedunguannya.


Pun bisa jadi keduanya hanya akan sekedar tersenyum getir karena toh mereka tak pernah sempat mendefinisikan nasib cinta mereka ; kehormatan atas nama cinta atau kebodohan yang berbaju kepolosan dan berhiaskan keberanian konyol.


Apa yang kemudian patut dijadikan suri tauladan dari sepasang potongan jiwa yang begitu rapuh? kekaguman apa yang masih tersisa dari melankolisme sebuah mimpi yang berjarak begitu rupa dengan landasan realita dan menjadikan kematian sebagai pungkas dari kisah yang begitu penuh gairah awal mulanya?


Cinta?

Begitu ramai kemudian manusia membuat tafsir tentangnya yang menjelma dalam banyak pertalian; keturunan (nasab), pernikahan, persahabatan,pengabdian,penghambaan buah relasi dua entitas baik yang didasarkan pada kesepadanan ( egaliterisme ) maupun antara super ordinat - sub ordinat.


Akan tetapi tentunya kesemuanya sepakat bahwa cinta dan kehidupan adalah kausalitas yang tidak bisa terelakkan.


Hewan melata ada dan beranak pinak karena cinta, manusia ada karena cinta,alam semesta dan isinya ada karena cinta.


Cinta adalah keagungan dan hidup adalah kehormatan, lalu siapa pecinta yang begitu rupa berani menyenandungkan kidung kematian atas nama cinta?


atas nama hidup,
yang dibenci
bukan yang dihindari dan ditakuti

yang dicintai
bukan yang dihasratkan

banyak ketakutan manusia yang tak nyata
lalu mengapa
bersedih untuk sesuatu yang belum nyata adanya?

kehormatan
hanyalah,
keberanian menantang matahari
esok hari




Di Sudut Kantorku dengan perasaan tak bernama, Januari 2006

PS: untuk orang - orang yang mengajarkanku tentang cinta dan bagaimana harus mencintai ; memberi, memberi dan memberi....