Sunday, June 03, 2012

Untukmu

untukmu,
sepotong hati
yang telah membawa sebagian nyawaku

untukmu,
sebuah nama
yang mewakili cinta dan harapanku,

untukmu,
sebuah kisah
yang membuatku yakin kemana ini akan mengarah

ya,
dirimu adalah
alasan semua ini harus dilakukan

pun
suka dan kecewa
mengiringi langkah kita,

dan hei..
lihatlah,
di sinilah kita,
kita masih bisa bertahan
masih saling bergenggaman

sungguh,
aku begitu mencintaimu
hingga setiap detik yang kulalui
adalah ketakutan kehilanganmu

maka
ijinkan aku,

berikan aku,
kesempatan untuk selalu menemanimu
hingga
ujung waktuku

istriku,
i love you

Tuesday, January 24, 2012

14 Desember



” Hi….” sapa sebuah id YM yang tidak aku kenal

” Maaf ini siapa ya?” tanyaku via YM

” Ini Ullie pak, tadi barusan kita rapat….” jawab id YM itu yang segera menuntaskan rasa penasaranku.

Diskusi kami pun berlanjut tentang keterlibatan kami dalam satu tim untuk membuat sistem informasi akutansi di tempat kerja kami.

Dan dalam rapat-rapat yang telah dilakukan, si Ullie selalu mendominasi, selain kompetensinya di bidang financial  accounting, dia juga paham tentang proses bisnis seluruh direktorat yang ada di kantor kami, hingga tidak sulit bagiku untuk kemudian mengagumi kecerdasan wanita ini, dan semua anggota tim sepakat denganku.

Sebulan setelah interaksi kami yang tidak jauh-jauh dari urusan pekerjaan, aku mengirimkan dia email.

” Maukah engkau berbelah nyawa denganku? dimana dengannya aku ingin menggenapkan agamaku, dan bersamamu aku ingin masuk ke dalam surga-Nya?” isi pesan emailku kepadanya.

” Datang aja ke rumah, bertemu dengan ibu - bapak-ku….” jawabnya via sms

Dan aku seperti para pecinta dalam dongeng-dongeng itu, mengumpulkan segala keberanian untuk menepati janjiku  datang ke rumah. Bergemuruh hatiku datang ke rumahnya, namun kehangatan keluarganya berhasil mengusir kecanggunganku.

” Engkau berhasil merebut hati ibuku…” ujarnya via sms malam setelah kunjunganku dan hatiku serasa dibawa malaikat naik ke langit tingkat tujuh kala itu

Setelahnya hati kami berbunga-bunga mempersiapkan hari yang agung bagi kehidupan kami : 14 Desember pernikahan kami.

Segala puji syukur bagi-Mu
telah Engkau pertemukan aku dengannya

setelah berpuluh-puluh purnama munajatku
ia dalam doa tanpa nama dan wajah

dan kini ia menjelma,
sosok yang dengannya aku (akan) berbelah nyawa

sepotong hati yang ingin kami bersama meraih surga
nama yang ingin selalu kutulis dengan cinta

Wanita luar biasa aku menyebutnya, bukan hanya tentang kecantikannya yang selalu membuatku merindukannya, bukan pula tentang kepandaiannya dalam diskusi-diskusi kami, lebih dari itu… semuanya karena ia mau menerima cinta lelaki biasa seperti diriku.

Wanita luar biasa aku menyebutnya, pendampingku yang menemani hari-hariku dengan cinta dan ketulusannya.

Wanita luar biasa aku memanggilnya, wanita karir yang kemudian mengabaikan tawaran untuk menjadi direktur keuangan dan lebih memilih menjadi ibu rumah tangga.

Wanita luar biasa aku menyebut istriku, seorang wanita yang kemudian membisikiku tidak hanya mau menemaniku hingga ujung waktuku, namun ingin juga bersama di surga, perkenankan doa kami, duhai Tuhan-ku…..

Sebelum Berminat Putus Asa, Bacalah Buku Ini !!



Mari kita bersama  berandai - andai. Jika anda seorang bocah laki - laki berusia empat belas tahun, memiliki 5 saudara yang semuanya perempuan dan engkau lah satu- satunya anak laki - laki di sebuah keluarga petani tembakau dan jagung yang sangat sederhana.

Apa yang anda lakukan? bila pada suatu masa, lingkungan dan negara anda mengalami bencana kelaparan luar biasa. Keadaan memaksa anda hanya bisa makan sekali dalam sehari dan anda akan sangat sering melihat orang mati karena busung lapar atau terjangkit kolera.

Cerita ini adalah sebuah kisah nyata dari buku "Bocah Penjinak Angin".  Pada akhir tahun 2001 - 2002 di Malawi, sebuah negara kecil di tenggara Afrika. Negara yang pada saat kondisi krisis pangan begitu akut, presidennya masih sempat melucu ketika ditanya wartawan, " Yang Mulia, rakyat di seluruh negeri banyak yang meninggal karena kelaparan, apa yang anda lakukan?", dan sang presiden hanya mendengus mendengar pertanyaan itu kemudian menjawab bahwa dia sendiri tumbuh di desa, tempat banyak orang meninggal karena TBC, kolera, malaria, atau diare tapi bukan karena kelaparan.  " Tidak ada orang mati karena kelaparan" kata pak Presiden.  

Sama lucunya saat di awal kepemimpinannya, sang presiden ditagih atas janji kampanyenya bahwa seluruh penduduk Malawi akan mendapatkan sepatu baru jika dia memenangkan pemilu, anda harus menahan diri untuk tidak sakit perut karena tertawa saat mengetahui jawaban sang presiden, " Rakyatku sekalian, apa aku kelihatan seperti orang gila? Bagaimana mungkin aku tahu ukuran sepatu setiap orang di Malawi? ....... "

Mungkin anda akan berseru, “ah... di negeri ini para pemimpinnya tidak kalah lucu kok. Presidennya suka mengeluh dan menciptakan lagu, wakil rakyatnya hobinya menghabiskan uang rakyat”. Ya.. ya.. aku tahu itu benar. tapi mari kita melanjutkan cerita tentang bocah di Malawi ini.

Nama bocah ini adalah William Kamkwamba, kita panggil saja Kwamba, seorang bocah yang karena krisis ekonomi dan pangan membuat ayahnya tidak mampu untuk membiayai sekolahya hingga lulus SMP. Kwamba menikmati belajar di SMP begitu singkat, dia putus sekolah karena tidak mampu membayar iuran sekolah sebesar dua ribu kwacha ( mata uang di Malawi ) di semester pertama pendidikannya. 

Bagi Kwamba, putus sekolah adalah sebuah bencana, ia sudah membayangkan takdirnya jika tidak berpendidikan akan sama dengan ayahnya, menjadi petani miskin di sebuah desa terpencil. Namun ia tidak berputus asa, sekalipun tidak sekolah, di sela - sela kegiatan membantu ayahnya di ladang, ia menghabiskan banyak waktunya dengan membaca buku di perpustakaan kecil sekolah dasar Wimbe.

Sejak kecil, rasa ingin tahunya begitu besar tentang prinsip kerja alat - alat yang ada di sekitar, dan hampir seluruhnya terpuaskan saat ia membaca buku "Explaining Physic" dan " Integrated Science" di perpustakaan itu. Dari membaca buku di perpustakaan, Kwamba mendapatkan inspirasi dan kemudian membuatnya begitu bersemangat untuk membangun pembangkit listrik tenaga kincir angin di rumahnya.  

Awal mula membangun kincir angin ini, orang - orang di sekitarnya menyebut ia misala (gila), bahkan ada yang menganggap kincir angin itu sebagai menara sihir, hanya Gilbert dan Geoffrey, sahabat yang dengan setia membantu secara finansial dan tenaga untuk proyek yang disebut Kwamba sebagai "angin listrik". 
Singkat cerita, akhirnya kincir angin itu berhasil dibangun dan mampu menghasilkan listrik dan menerangi rumahnya, sesuatu yang sangat langka di desanya. Hanya rumah orang - orang kaya, dengan jumlah sedikit,  yang memiliki listrik dan itu pun sering mengalami pemadaman dan bertarif sangat mahal. 

Karena "angin listrik" yang diciptakannya, pada awal november 2006, seorang Dr. Mchazime dari Malawi Teacher Training Activity (MTTA), tertarik untuk mempublikasikan "angin listrik" dengan mengundang sejumlah wartawan ke rumah Kwamba. Sejak itu, Kwamba dan "angin listrik"-nya dikenal banyak orang, tidak hanya di Malawi tetapi juga hingga ke mancanegara. Hal inilah yang menjadikan Kwamba beberapa kali diundang ke luar negeri untuk mempresentasikan karyanya, termasuk juga ia kemudian mendapatkan bantuan untuk mengembangkan kincir anginnya tidak hanya untuk pembangkit listrik, tetapi juga untuk irigasi. 

Dan akhirnya berkah dari karyanya itu juga mengantarkan Kwamba mendapatkan beasiswa di African Leadership Academy - Afrika Selatan. Sekolah ini berisi murid - murid dari 53 negara - negara Afrika yang memiliki misi untuk mendidik calon - calon pemimpin Afrika di masa depan.

Atas semua kesuksesannya Kwamba berpesan dalam buku ini " Kalau kau ingin berhasil mewujudkannya, yang harus kau lakukan adalah berusaha......", ia juga mengutip perkataan Martin Luther King Jr " Kalau kau tidak bisa terbang, larilah; jika kau tidak bisa lari, berjalanlah; kalau kau tidak bisa berjalan, merangkaklah.."...

Tonga !!!

Monday, December 19, 2011

Untuk Bidadari Kecilku

nak,

saat engkau melonjak kegirangan,

menyambut kedatangan ayahmu, kesedihan merambatiku,

membayangkan detik-detik penantianmu…


nak,

saat menemanimu berderai tawa

ada doa moga sang waktu merangkak jenak itu


nak,

saat pekatnya malam mengantar keberangkatanku,

dan menyaksikan engkau tertidur pulas,

ada banyak mimpi yang kutitipkan padamu..


nak,

saat bundamu memberitahu,

sepagian tadi engkau memanggil-manggil namaku,

namun engkau mendapati ayahmu telah pergi…..

tiada kata yang mewakili duka ini….


nak,

ada doa tiada pupus, bahwa engkau memaafkan ayahmu…

ayahmu,

seorang lelaki pernah yang tergugu di sudut toko sepatu

membayang saat bocah,

ia pernah begitu memimpikan memiliki sepatu baru

namun baginya itu adalah sebuah mimpi…

maka,

sebuah janji diikrarkan,

tak ingin membuat bunda dan dirimu,

berseduh sedan karena kekurangan,

untukmu,

ia tukarkan setiap keringatnya,

demi menebus rejeki-Nya

untukmu,

ia titipkan doa pada angin,

agar Tuhan melindungimu senantiasa

nak,

sungguh ayah begitu menyayangimu

selalu


Tuban , Juni 2010

Sunday, June 29, 2008

Tamri, Namanya

Berharap mendapatkan kesenangan seolah berpiknik, sama sekali tak terbersit dalam benakku. Kalau saja isteriku tidak merajuk untuk ikut serta dibumbui tatapan memelasnya-yang selama ini selalu sukses membuatku takluk untuk meluluskan segala keinginannya- tentunya aku tidak akan mengajak ia untuk mengambil data guna keperluan risetku. Kekhawatiranku bukan tanpa alasan, karena usia kandungan isteriku kini memasuki 5 bulan.

Seperti dugaanku, pagi itu begitu terik. Dan untuk topografi daerah kritis nan tandus rasanya tidak begitu mengherankan tidak ada satu pun pepohonan yang bisa dimanfaatkan untuk berteduh di lokasi objek risetku.

Satu hal yang membuatku tetap bersemangat: keceriaan isteriku. Tidak dihiraukannya sengatan matahari yang begitu terik. Berpayung, dan ngemil sebanyak-banyaknya bekal yang kami bawa, isteriku terlihat begitu lucu. Ia dengan mudahnya mengesampingkan kondisi yang tidak nyaman itu, seolah sedang plesir di pantai Kuta.

Namun kelegaan itu tidak berlangsung lama.Semakin siang, suhu udara semakin ttinggi, hal yang tidak teramat sulit untuk lekas menghapus keceriaan dari wajah isteriku.

Di tengah kebingunganku, seorang lelaki yang sejak tadi sepertinya memperhatikan kami dari tempatnya yang tidak jauh dari objek risetku, begitu ramah menawarkan tempat berteduh sembari mempersilahkan kami untuk istirahat di kursi malasnya yang terbuat dari bambu.

Tamri nama lelaki itu, namun ia lebih akrab disapa Ambon karena rambut kriwilnya ditambah kulitnya yang legam, fisiologi khas saudara-saudara kita dari Indonesia Timur. Di tempat itu ia tinggal di sebuah bekas box kontainer yang ia manfaatkan untuk kamar. Ia bekerja sebagai buruh angkut sekaligus penjaga gudang sebuah perusahaan pasir besi.

Sejenak mengobrol dengan mas Tamri, kesan yang muncul adalah bahwa pria ini baik hati, sopan dan ramah. Satu-satunya alasan yang membuat isteriku takut awal mulanya dengan mas Tamri karena sekujur kedua lengannya yang berhias tato.

Kami begitu akrab, kendala bahasa Mas Tamri yang terbata-bata berbahasa Indonesia, tidak menghalangi suasana cair diskusi kami. Dari diskusi pula aku mengetahui keluarga dia, impiannya sekaligus sejarahnya hingga ia terdampar di Surabaya.

Ia seorang yatim-piatu, satu-satunya saudaranya hanyalah kakaknya yang sekarang tinggal di kota Darwin- Australia. Kakaknya menikah dengan wanita setempat yang menjadikannya berganti kewarganegaraan dan akhirnya berprofesi sebagai anggota angkatan darat negeri kanguru tersebut.

Mas Tamri sudah berkali-kali ditawari untuk tinggal di Australia oleh kakaknya, namun ia dengan halus menolaknya. Hal yang membuatku terkesan, alasan penolakan itu: ia ingin berjuang hidup untuk dirinya, tanpa bergantung orang lain.

Satu lagi kekagumanku: di tengah kesibukannya menunaikan amanah kerja yang cukup berat, ia tidak lalai untuk menunaikan sholat, ia seorang muslim. Kontras sekali dengan stigma orang bertato dan buruh kasar bukan?

Ya, dan senyum manis mas Tamri membayang, ditingkah lirih tutur isteriku " banyak orang baik, Mas"



Tambak Garam di Pesisir Gresik, Juni'08

Mertuaku, Guruku

Udara siang itu cukup terik, di ruangan yang tak berpendingin tersebut, keringat dingin membasahi tubuhku. Lidahku seakan kelu, diskusi dua keluarga yang sedang menentukan kesepakatan untuk waktu pernikahan kami, tidak begitu kuikuti sepenuhnya, entah saat itu aku berfikir apa. Aku hanya merasakan kepanikan yang luar biasa membayangkan jika kemudian hasil dari pertemuan itu nantinya memperlama prosesi ikatan suci itu dilakukan.

Ketakutan yang aku kira cukup beralasan, ketika menyaksikan tidak bertemunya 2 pendapat yang berbeda tentang penentuan hari, yang satu berkeinginan untuk dipercepat dengan alasan menghindari fitnah sedangkan yang lainnya berkeinginan agar prosesi ini memiliki waktu yang cukup matang untuk dipersiapkan. Dan untuk beberapa waktu kedua pendapat ini belum bisa berkompromi.

Hingga kebuntuan pun akhirnya terpecahkan saat dengan tegas bapak mertuaku saat itu berujar, " Bapak-ibu sekalian, esensi kebahagiaan itu sejatinya adalah ketentraman, dan ketentraman merupakan buah dari sikap ke-cukupan kita.Sekiranya kemampuan maksimal kita hanya bisa mengisi setengah gelas, maka lebih kalau kemudian kita tidak "neko-neko" memenuhi gelas tersebut, jadi saya kira tidak ada alasan untuk mengulur prosesi sakral ini".

Kalimat ajaib inilah yang kemudian membuat acara khitbah itu pun kemudian menetapkan Jum'at, 14 Desember 2007 sebagai waktu untuk menggenapkan separuh agama kami, 26 hari setelah proses khitbah, waktu yang tergolong supercepat bagi keluargaku, bahkan di luar bayanganku.

Barangkali untuk beberapa orang -bahkan mungkin aku- kalimat itu tidak sepenuhnya benar, namun kesahajaan dan simplifikasi masalah mertuaku membuatku harus mengacungi jempol kepada beliau.

Dan kekagumanku ini kemudian semakin bertambah, setelah melihat keseharian beliau. Lelaki yang hampir seluruh rambutnya telah memutih ini, sangat sederhana, pekerja keras, dan begitu bijak dalam memandang kehidupan. Hampir setiap kami ngobrol berdua, begitu banyak kekaguman membuncah di benakku mendengar tutur nasehatnya.

Beliaulah yang dengan segala kelapangan hati, mau menerima lelaki biasa yang penuh keterbatasan ini untuk menjadikan putrinya belahan hidup.

Lelaki paruh baya inilah yang sering menguatkan menantunya untuk bertahan dengan prinsip hidup yang diyakini, tanpa harus terpengaruh dengan hiruk pikuk apa kata orang.menjadi manusia merdeka, terbebas dari lingkaran caci dan puji.

Dan tidak teramat sulit bagiku untuk memajang sosok beliau dalam dinding jiwaku, menambah deretan panjang orang - orang yang aku begitu menyukai untuk memandang lekat - lekat wajahnya, orang - orang yang menjadi guru bagiku.

Terima kasih bapak, Terima kasih atas bidadari yang telah engkau percayakan kepadaku, betapapun aku bukan lelaki mulia....

Segala Puji Syukur Bagi-Mu, Duhai Tuhanku.....

Salatiga, Pukul 00.00 Tahun 2008

Catatan Seorang Suami

Menjadi suami? Hal yang dahulu begitu kuimpikan. Entahlah rasa apa yang sedang menggelegak dalam jiwa. Namun kerinduan untuk segera bertemu dengan pasangan jiwaku seolah sudah melebihi kadar kemampuan seorang lajang untuk bertahan. Dan kini aku hadir sebagai seorang suami, impian yang mewujud, ya aku kini bersanding dengan seorang bidadari.

Kemudian kini hidupku sedang penuh diliputi kejutan-kejutan. Kehidupan yang semula kupahami (seolah) sebagai kebebasan tanpa batas, kini harus benar-benar menyadari, ada hati yang harus dijaga, ada benih cinta yang harus senantiasa disemai, dipupuk dan dijaga pertumbuhannya di ladang jiwa.

Hadir sebagai seorang suami, menuntut diri untuk senantiasa menghadirkan dan membaluri pasangan kita dengan kebahagiaan, karena kebahagiaan terbesar seorang suami barangkali bukan sekedar terpenuhinya langit-langit harapan, namun melihat senyum manis bidadari kita terukir di wajahnya senatiasa adalah penghapus segala lara.

Di sinilah uniknya, cinta dan keinginan untuk memborong kebahagiaan untuknya terkadang menjadi semacam pintu untuk menyakitinya. Ironi? Barangkali bisa dibilang begitu, tapi bukankah memang itu hal wajar yang terjadi sebagai efek relasi dua orang insan berbeda yang belum pernah mengenal sebelumnya, dua presepsi tentang bahagia yang belum bersua.

Ya, kami hadir dalam keragaman, banyak warna, menyulamnya dengan benang cinta. Dan saat ini diperlukan tingkat kedewasaan yang begitu rupa untuk menahan diri menuntut pasangan kita seperti yang kita inginkan. Karena betapa pun ia tetap adalah dirinya, apa yang lebih menyakitkan dari keterpaksaan untuk menjadi orang lain bukan?

Ini hanya masalah waktu, aku menyakininya. Dan tidak diperlukan rumusan-rumusan sikap, aku kini ingin mengalir, sebisa yang kubisa, aku akan selalu ingin membuatnya tersenyum, biarlah hanya Tuhan yang Tahu betapa aku begitu mencintainya, karena mencintai adalah bentuk ibadahku kepada-Nya. Dan aku bukan pedagang kelontong yang selalu memaknai setiap memberi harus menerima, hidup terlalu sempit untuk selalu dimaknai sebagai transaksi rugi - laba.

Apakah mencintai dan berusaha menjadi baik, modal yang cukup untuk menjadi suami? Biarkan realitas yang menjawabnya, satu tekadku: mencintainya hingga ujung waktuku, cukup bagiku.


Rumah Cinta, Maret 2008
"Terima kasih, telah menemaniku"

Tuesday, August 21, 2007

Jerat - Jerat Intelektualitas

Moment bercerainya ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai etik adalah sejak apa yang disebut sebagai masa renaisance, gerakan yang mengusung isu besar netralitas etik (sterilisasi nilai) di semua ranah kehidupan manusia.

Ia merupakan bom waktu yang merupakan akumulasi traumatik publik "barat" akan tirani kaum rohaniawan setelah melalui fase panjang bernama "era kegelapan" (dark age). Phobia yang disebabkan peran para rahib yang begitu luas hingga seolah mereka merupakan "tuhan-tuhan kecil" di bumi. Dan seperti yang sering terjadi, kekuasaan selalu memancing wajah paling primitif manusia : penindasan.

Namun pada fase berikutnya, ketika ilmu pengetahuan dianggap kosong akan nilai, maka motif manusia kemudian menggeser fungsi ilmu pengetahuan sebagai alat untuk me-legitimasi ataupun men-delegitimasi sesuatu, pihak penengah berjuluk "ilmiah".

Tidak terkecuali kaum agamawan, yang mencoba begitu bernafsu untuk membuat rujuk (kembali) antara agama - ilmu pengetahuan yang lama "tidak akur". Maka kemudian ada begitu banyak dalil yang diseret-seret untuk disesuaikan dengan ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya, barangkali itu merupakan buah pemikiran bahwasanya agama merupakan representasi patronase yang dogmatis (ortodok) sementara ilmu pengetahuan mewakili nilai kontemporer(modernitas), sedangkan di alam kekinian sesuatu yang usang dan kolot (biasanya) menjadi sesuatu yang memuakan.

Saat ini, ilmu pengetahuan dianggap segalanya, menafikan kelemahan daya tangkap inderawi manusia yang terbatasi domain spacial (ruang) dan temporal (waktu). Ilmu pengetahuan telah mampu memapah manusia untuk diam-diam maupun secara gamblang menyatakan betapa berkuasanya ia. Tidak mengherankan, karena sejak Fir'aun mengaku sebagai Tuhan pun, ada peran Haman sang insinyur, "cendikiawan" dibalik kisah tragis sang raja.

Satu lagi, kesadaran manusia dalam memperoleh metode baku untuk memformulasikan fenomena untuk kemudian mendapatkan ekstrak bernama ilmu pengetahuan -pada kadar tertentu- telah mejadikan manusia menjadi makhluk yang sangat formalis, birokratis, institusional.

Cendikiawan bukan lagi ia yang memeras dan memamah serpihan-serpihan hikmah hingga menjadikannya manusia bijak, namun ia diukur dari sebera papanjang title yang mengikuti namanya.

Pengetahuan bukan lagi kesadaran terus menerus memelototi setiap fragmen kehidupan, namun ia menjadi terbatasi di tembok nan kukuh bernama sekolah.

Dan budaya materialisme membuat ilmu pengetahuan menjadi sesuatu yang begitu mahal dan memperkecil probabilitas orang-orang yang berhak diakui oleh publik sebagai kaum cendikia.

Pun juga menjadikan kebijaksanaan bukan merupakan orientasi pengetahuan, namun bagaimana ilmu pengetahuan menjadi alat pemuas kebutuhan bernama "status sosial".


Bandung, 20 Agustus'07

Wednesday, August 15, 2007

Aku Malu....

Malam ini, adalah sisa -sisa tenaga yang kumiliki setelah baru saja aku tiba dari melakukan perjalanan dinas kantor selama beberapa hari di luarkota.

Aku memaksakan diri untuk menuliskan risalah ini berharap ada orang-selain aku- yang kemudian mampu memamah serpihan hikmahnya.

Cerita ini berawal dari sebuah sms yang cukup mengagetkanku kala itu, saat aku baru saja tiba di bandara Soekarno Hatta - Jakarta, bunyi sms-nya (dengan sedikit perubahan redaksi ) :"Salam, akh saya ingin berpartisipasi di LSM antum, rekening antum? " dari nomor 081XXXXXXX

Sebut saja nama pengirim sms ini ukhti fulanah.

Ya, itu adalah awal sms seseorang yang pada saat aku aktif di beberapa kegiatan kampus tidak pernah mengenalnya,termasuk mendengar namanya.

Saatini beliau sedang bekerja di jakarta. Dan cerita pun berlanjut,hanya sekitar 2 kali kami saling berkirim sms, hingga suatu pagi, aku terhenyak saat membaca email dengan subjek :"penawaran" .

Masih oleh orang yang sama, dimana dalam email itu beliau menawarkan satu diantara tiga lokasi ( tanah ) di daerah pasuruan untuk dihibahkan bagi terwujudnya sekolah gratis yang sedang dirintis sahabat-sahabatku di LSM Peduli Pendidikan Indonesia.

Jujur, untuk beberapa saat aku tidak bisa memberikan nama untuk perasaanku saat itu,dan tidak lama berselang aku pun menyambut niatan mulia beliau sekaligus berjanji untuk segera melihat 3 pilihan lokasi yang beliau tawarkan.

Alhamdulillah,disela agenda keluar kota, tadi pagi aku masih bisa menyempatkan diri untuk melihat lokasi yang ditawarkan, tidak terlalu sulit untuk menemukan rumahnya, karena ternyata beliau adalah putri dari (almarhum ) seorang ulama yang cukup dihormati di desanya.

Ini kuketahui saat menanyakan rumah ibu Sunarsih ( ibu saudariku ini), kepada seorang bapak paruh baya, dan jawaban sang bapak yang cukup detail dan antusias menjelaskan tentang keluarga ini membuat akhirnya aku mengetahui sedikit "track record"-nya.

Pagi itu pun, akhirnya aku bisa berjumpa dengan ibu Sunarsih, wanita yang cukup ramah, pekerja keras,teguh, dan selintas membuatku membayangkan wajah ibuku.

Di rumah yang (cukup) sederhana, beliau membesarkan putri semata wayangnya, dengan berjualan kerupuk, hasil olahan tangannya.

Dan dari ibu Sunarsih aku sedikit mengetahui perjuangan putrinya hingga akhirnya bisa meneruskan pendidikannya di kampus yang sama denganku untuk menimba ilmu.

Cerita Bu Sunarsih cukup sukses membuatku menunduk dalam-dalam, malu rasanya membandingkan diriku dengan saudariku ini.

Di lain waktu, via chatting sengaja aku menanyakan ke saudariku ini, kenapa ia begitu saja percaya untuk menghibahkan tanahnya kepadaku, toh ia sendiri baru mengenalku.

" saya punya impian yang sama ...." salah satu jawaban lugasnya, dan setelahnya aku diam seribu bahasa, keluh rasanya..

Saudariku, jazakillah sudah mempercayaiku, moga impian itu segera terwujud, tiada yang bisa saya haturkan selain semoga ALLOH SWT membalas kebaikanmu, dan memudahkan jalan untuk meretas asa kita.

Darimu kami mendapatkan semangat, karenamu aku menyakini bahwa aku tidak sendiri dan banyak orang baik di negeri ini, kebaikan yang tidak bertendensi, orang-orang yang tidak selalu memampang dirinya di etalase sejarah layaknya pedagang kelontong yang selalu berhitung rugi- laba....

Terima kasih saudariku ......


Di sela- sela kepenatanku, 13 Juni 2007

Metamorfosis

Barangkali bukan karena nilai - nilai ideologi yang begitu rigid yang kemudian membuat seseorang terlalu gagap untuk menyikapi perubahan, namun hanya disebabkan ketidakmampuan diri untuk menghadapi dan bergumul dengan realitas.

Jika kemudian idealita adalah laksana cakrawala yang membumbung tinggi, maka diperlukan landasan jiwa yang cukup lapang untuk selalu menerima fakta bahwasanya realita tidak selalu ramah dan memenuhi permintaan agar takdir bersua dengan langit-langit mimpi.

Dimana ruang di antara langit-langit impian dan landasan realita, kita menamakannya "kelegowoan". Dan manusia sendiri hanyalah aktor yang selalu menjemput takdir dari satu terminal waktu ke persinggahan waktu berikutnya.

Waktu dan ruang hanyalah "perangkat adminstratif" kehidupan untuk menjadi parameter eksistensi aktor kehidupan ini.

Seberapa besar eksistensi seseorang hanyalah dikaitkan seberapa sesak ia memenuhi lorong-lorong waktu dan palagan kehidupan ini.

Sedangkan konsepsi waktu sendiri adalah konsepsi yang paling abstrak setelah konsepsi keyakinan akan keberadaan Tuhan. Hingga tidak mengherankan seorang ulama mengatakan waktu adalah sepertiga bagian dari struktur keimanan akan aturan-aturan ilahiyah.

Sama halnya dengan konsep ruang yang merupakan satu kosmologi yang utuh,tidak terpotong-potong, pun juga konsep waktu, yang tidak pernah bersekat dengan definisi-definisi masa lalu, sekarang dan masa depan.

Dan perubahan hanyalah semacam "limbah" dari proses produksi manusia untuk bergulat dengan jatah waktu yang sudah ditentukan untuknya.

Namun perubahan bukanlah fungsi hasil yang sebanding dengan ikhtiar, ia adalah nilai yang ditentukan keberkahan sebuah proses panjang perjuangan yang merupakan gabungan keikhlasan dan kesabaran.


Malang, di ujung senja, Agustus'07