Monday, March 27, 2006

Berdiri di Atas Kaki Sendiri

Malam kian larut, lengang, hingga teriakan seorang bapak paruh baya mengoyak kebisuan malam, " Sate ...... Sate ......",bukanlah sesuatu yang aneh jika teriakan itu tidak bersambut, karena jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah satu. Kupandangi lekat-lekat wajah lelaki itu, temaramnya cahaya rembulan tidak bisa menyembunyikan keletihan yang menggantung dipelupuk matanya, dan cukup dengan teriakan " Bang Sate....sini... " menjadi kata-kata yang amat diharapkannya, kata yang seketika akan memahatkan senyum di wajahya, karena itu berarti ada rejeki yang bisa dibawa pulang sebagai penyambung nyawa esok hari bagi selaksa cinta yang setia menantinya di rumah.
Di tempat yang lain ada mas Basuki,lelaki berusia tiga puluhan tahun ini, setiap malamnya dengan sabar menjemput rejeki ALLOH SWT dengan berjualan gorengan di tempat yang tidak jauh dari rumah - lebih tepatnya gubuk - yang dikontraknya. Cukuplah kebahagiaan baginya, ketika barang jualannya itu satu persatu dibeli dan akhirnya ludes tak bersisa, karena itu berarti ada 2 belahan jiwanya - istri dan seorang putrinya-yang esok hari masih bisa menatap mentari dengan mata berbinar.
Ah.... rasanya kepada penjual sate dan mas Basuki lah: aku atau siapa pun yang hidup dan kehidupannya dibangun dengan menopang dan bersandar pada orang orang lain, harus belajar untuk menantang matahari esok dengan sebuah kebanggaan bahwa sejarah hari kemarin telah ditulis dengan tetesan keringat usaha kita, suatu kegagahan untuk berpijak di atas kaki sendiri.
Pun bagi para koruptor tengik itu: tidak malukah mereka dengan kedua lelaki yang demi mencari sesuap nasi yang halal mengharuskannya untuk setia bergumul dengan keremangan malam yang terkadang tidak selalu berbaik hati dan ramah pada keduanya? tidak malukah mereka dengan keteguhan keduanya untuk tidak menggadaikan kehormatannya sekalipun keduanya teramat sering melihat kesedihan orang - orang yang dicintainya akibat kemiskinan yang menghimpit dimana hal itu jauh lebih berat dengan kesedihannya sendiri untuk memaknai kemiskinan?
Ah, toh... Robb ku Maha Mengetahui kiranya wajah lusuh dan kemelaratan penjual sate dan mas Basuki jauh lebih mulia dibandingkan wajah licin dan kekayaan yang melimpah orang-orang yang dibangun dengan menghisap darah dan air mata orang lain.
Astaghfirulloh ....

Indonesia, Maret 2006

Friday, March 24, 2006

Agustino, Status : Kaum Pinggiran

Dalam pergulatan sistem ekonomi yang konon menjunjung nilai - nilai kesejahteraan yang berkeadilan sosial namun sejatinya malu - malu untuk menyebut dirinya negeri kapitalistik, mungkin mereka orang - orang yang kalah, kaum dengan segala keterbatasan porsi untuk mensejahterakan diri secara materi. Dan juga dalam tataran kultur sosial tidak jarang mereka dipandang sebelah mata, dieksploitasi dalam momen -momen tertentu yang membawa jargon "pengentasan kemiskinan" hingga muncul pahlawan kambuhan bagi kaum papa, kemudian pada akhirnya rakyat jelata itu harus dipaksa untuk cukup puas menelan janji - janji selangit sebagai obat semu penderitaan yang mendera.
Hatta dengan segala keterbatasan tersebut, adalah sebuah pilihan dilematis untuk "sekedar" tidak mencuri saat perut melilit karena sedari kemarin tidak terisi sementara kaum borjuis tidak menyisakan sedikit pun remah - remah hasil pembangunan untuk mereka, pun sama sulitnya untuk tetap teguh dengan keimanan bahwa Tuhan Yang Maha Esa mencintai orang-orang yang sabar dan menjanjikan kenikmatan abadi untuk orang - orang yang istiqomah bertaqwa kepada-Nya sekalipun jalan yang harus ditempuh berdarah-darah dan ditebus dengan air mata menelaga.
Dan diantara "sedikit" kaum proletar yang berikhtiar menebus janji ALLOH SWT itu bernama Agustino. Penghuni salah satu pemukiman kumuh di Surabaya yang tetap mempertahankan kehormatan dan aqidahnya di tengah kepungan kemiskinan sekalipun iming-iming para misionaris begitu menggoda.
Karenanya, jangan engkau kenakan kacamata Nietze dengan menganggap Agustino dan barisan orang di belakangnya adalah para pecandu agama-para pengecut- yang melarikan diri dari realitas sebelum engkau melihat optimisme mereka yang begitu besar akan kenyataan esok hari atau jangan pula engkau memakai teropong para " begawan pembangunan" dengan mengatakan bahwa mereka adalah kaum pemalas sebelum engkau melihat betapa sejak fajar menyinsing hingga sang surya pulas diperaduannya mereka tertatih - tatih memungut rejeki yang di tebarkan-Nya. Apalagi untuk menghinakan mereka, karena bisa jadi mereka adalah kaum pinggiran yang mulia, orang - orang yang membumbungkan doa dari gubuk reotnya dan tiada tabir bagi ALLOH SWT untuk mengabulkannya ............

Indonesia, Maret 2006

Monday, March 13, 2006

Akhi VS Ukhti

Konflik gender yang terjadi dalam relasi pria-wanita hampir setua usia peradaban manusia, bahwa kemudian kesenjangan yang muncul sebagai akibat dari ketidakseimbangan pemenuhan hak-hak dasar sesuai dengan porsi masing - masing sex ( jenis kelamin ), baik itu yang merupakan bagian dari suatu konstruksi sosial yang disengaja, maupun ketidakmampuan untuk menstrukturkan wilayah-wilayah gender berdasarkan perbedasan fisiologis, fungsi,hak dan kewajiban fitroh menjadi suatu keniscayaan terjadi di semua ranah, komunitas yang terjadi interaksi dua jenis manusia yang berbeda tersebut. Tidak terkecuali pada aktivitas dakwah kita.
Pada tataran ideologis, kita bersepakat bahwa aktivitas dakwah ini telah diframe dalam satu manhaj yang jelas bahwa pemenuhan hak dan kewajiban bagi masing-masing gender harus sesuai dengan nilai - nilai Islam yang direpresentasikan bagaimana Al-Qur'an dan As Sunnah mengatur pola interaksi tersebut, namun pada praktiknya harus kita akui isu-isu gender sering diangkat sebagai kambing hitam atas ketidakharmonisan relasi antar sex yang berujung pada tidak optimalnya pencapaian target dakwah.
Besarnya otoritas seorang qowwam dan kelebihan dalam fisiologis, fungsi sosial yang dimiliki ikhwan, sementara di pihak akhwat adanya mindset inferior sebagai makhluk subordinat karena kerterbatasan-keterbatasan fisiologis dan keterlenaan -kalau tidak mau dikatakan "keangkuhan"- dari segi kuantitas yang lebih banyak dalam komunitas dakwah dibandingkan dengan ikhwan, sering menjadi source apologi masing-masing untuk memperlihatkan jatidiri dalam prespektif personal ketika dihadapkan pada suatu masalah.
Menyadari bahwa dalam konteks komunal ( baca : jamaah ), keharmonisan yang dibangun dengan "menghilangkan" sekat-sekat gender ( tentunya dalam bingkai syariah ) dan mampu memetakan serta mengembangkan potensi masing-masing gender, menjadi sebuah solusi dari permasalahan relasi ikhwan-akhwat.
Sehingga statemen-statemen "karena ane ikhwan ...." atau " ane kan akhwat ...." tidak mengemuka lagi sebagai alasan-alasan kita.
wallahu'alam bishowab

Dini hari yang menyegarkan, Maret 2006

Bu Santi

Aku belum pernah bersua dengannya, yang kuketahui dari beliau adalah sebatas informasi yang kudapat dari salah seorang wartawan yang dahulu mengenalkanku dengannya, dan juga dari interaksi dengan beliau via email, sms dan yang terakhir aku banyak mengetahui kisahnya dari webblog beliau.
Pun dengan kondisi seperti itu, ada ikatan yang aku sulit menerjemahkannya bernama apa, namun yang pasti aku pernah berhutang budi pada beliau.
Sejauh ini aku sangat kagum kepada beliau, betapa hatinya begitu lapang untuk membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan beliau, bahkan termasuk kepadaku, orang yang tidak pernah dikenalnya secara langsung.
Bahwa dengan kesibukan beliau sebagai seorang wartawati, aktvis WHO, dan seabreg aktivitas sosial lainnya beliau masih mampu menerjemahkan bahasa cinta yang begitu indah kepada keluarga dan dua buah hatinya yang notabene bukan putri kandungnya, subhanalloh, seakan bagi beliau predikat ibu dan pemaknaan sebenarnya dari predikat tersebut tidak hanya berdasarkan ikatan darah, nasab,petalian keturunan, akan tetapi karena keduanya-baik anak angkat maupun anak asuh- sama-sama dilahirkan dari "rahim" cinta seorang ibu. Aktivitas cinta itu tergambarkan secara indah dalam kisah-kisah keseharian di webblog beliau, begitu pula yang aku rasakan selama berinteraksi dengan beliau, segala perhatiannya pekat dengan cinta visi laiaknya kasih yang dicurahkan ibu kandungku.
Saat ini, beliau sedang sakit dan karena penyakitnya beliau harus menjalani operasi, moga cinta ALLOH SWT senantiasa menaungi beliau, karena kebaikannya, karena doa-doa yang dipanjatkan dari lisan bocah-bocah yang pernah mereguk cinta dari telaga kasihnya, untuk keselamatan dan kesehatan beliau, amin yaa robbal'alamin....


Senja dengan penuh kecemasan, Maret 2006

Cinta, Waktu dan Peradaban

Di sebuah perjalanan dalam bus saat pulang ke kampung halaman, aku berkenalan dengan seorang bapak paruh baya. Setelah lama berbincang dan saling mengenalkan diri, tiba - tiba beliau bertanya : " kenal pak Munasir kan ? beliau orangnya baik.........,saya terakhir berinteraksi dengan beliau 10 tahun yang lalu.........."
Subhanalloh, betapa kebaikan seseorang akan terus dikenang, tanpa mengenal dimensi ruang dan waktu. Dan lelaki yang ditanyakan si bapak tadi, kini tak segagah dahulu, masih membayang di pelupuk mataku bagaimana lelaki itu pernah bertahun- tahun mengisi ruang hatiku dengan segala ketegasan dan sikap disiplinnya, entah sudah berapa kali teguran, jeweran sampai "pukulan sayangnya" di"hadiah"kannya untukku saat aku "ngangsu kaweruh",menampung dan meneguk dari telaga ilmu dan kewaskitaannya. Ah..... lelaki itu kini sangat ringkih, nafasnya sesekali tersengal akibat penyakit paru-parunya yang bertahun - tahun bersemayam di dalam tubuhnya. Namun jangan dikira beliau lemah, dengan kondisi yang mungkin bagi kebanyakan kaum manula lebih senang digunakan untuk menikmati masa tua dengan berleha - leha di rumah, beliau masih seperti dahulu,laiaknya aktivitas yang istiqomah dilakukan berpuluh-puluh tahun lamanya ; orang yang pertama kali datang ke masjid, membersihkan masjid, menjadi imam, menjadi khotib dan tidak jarang merangkap juga sebagai muadzin. Hatinya selalu terpaut dengan masjid sekalipun jarak dari rumahnya cukup jauh, dan betapa pun dengan aktivitasnya tersebut, cemooh, caci, pandangan sinis, ancaman sudah menjadi menu kesehariannya terutama saat-saat awal beliau merintis dakwah di desaku.
Tidak bisa dibayangkan betapa berat perjuangan yang beliau lakukan,sampai suatu waktu aku pernah sedikit "mencicipinya", saat mencoba dengan kemampuanku beramar ma'ruf nahy munkar di desaku, dan tantangannya sungguh luar biasa, nyawa taruhannya, subhanalloh.....
Jika kini kondisi desaku lebih baik ,adalah jasa beliau yang dengan cinta dan rasa sabar memberikan keteladanannya hingga akhirnya bisa mengubah pola pikir dan perilaku warga desaku; masjid mulai "ramai", kualitas hidup masyarakat juga mulai meningkat, sekalipun memang harus diakui "pekerjaan" itu belum selesai, karena tantangan dan musuh-musuh dakwah masih senantiasa mengintai,apalagi saat ini kondisi beliau sudah tidak seperti dahulu.
Dari beliau aku belajar banyak hal ; cinta kepada umat, kesabaran, kearifan, keteguhan, dan juga yang tidak kalah penting adalah mengisi setiap detik kehidupan kita untuk kemaslahatan umat, hingga di penghujung usia, "biografi" kita tidak hanya dicatat dengan tiga baris kata ; nama, tanggal lahir, tanggal wafat.
astaghfirulloh....astaghfirulloh....astaghfirulloh...

ITS, Maret 2006

Wednesday, March 08, 2006

Nggak Sekedar A3ST (Afwan, Ane, Antum,Syukron, Tafadhol....)

Mungkin prokem-prokem di atas yang senantiasa menjadi bahasa keseharian komunitas "kita". Istilah-istilah yang pernah membuat adik dan ibuku pernah memanggilku si Said - salah satu tokoh di sitkom "Bajaj Bajuri"- saat mereka mendengar aku ber-ane-antum dengan salah seorang saudaraku di ujung telepon. Dan tidak sedikit dari "kita" yang mengalami perlakuan yang sama oleh orang-orang awam di sekitarnya, hingga tidak jarang "kita" pun mundur teratur untuk menggunakan prokem-prokem di atas karena malu dianggap sebagai makhluk asing ( nggak punya potongan arab sedikit pun kok lagaknya kaya' raja minyak dari kuwait ^_^).
Tentunya untuk bersikap ; menyembunyikan muka karena rasa malu atau membetonkan wajah ini dalam menggunakan istilah-istilah tersebut, semuanya berangkat dari esensi menggunakannya sebagai alat komunikasi interaksi "kita".
Prokem-prokem ataupun segala aksesoris yang menstigma kita dengan predikat aktivis dakwah, anak rohis,remaja masjid, dan segundang label Islami lainnya harus dipahami adalah bagian dari nasrul fikroh. Bahwa suatu budaya yang mengukuhkan standar nilai, norma atau ukuran-ukuran perilaku berlabel hitam-putih,benar-salah, dimulai dari konsensus nilai anggota komunitas tersebut untuk secara legowo baik sadar maupun tidak, untuk menggunakan entitas-entitas budaya tersebut. Dan proses transformasi nilai ( baca : syiar, dakwah ) baik yang dilakukan secara adopsi maupun diadaptasikan dengan socio-culture yang ada, dimulai dari hegemoni istilah yang bisa jadi selama ini "kita" lakukan sekalipun tanpa menebarkan hujjah-hujjah qouliyyah.
Artinya jika generasi muda- yang notabene merupakan segmentasi dakwah yang paling potensial- sekarang merasa nggak gaul jika nggak ber-elu-gue yang merembet pada perilaku yang berkiblat pada standar nilai "generasi gua banget" , maka menjadi keharusan bagi kita untuk mewabahkan A3ST, sebagai bagian dari usaha untuk mensibgho-i mad'u, hingga kelak jika A3ST sudah menjadi prokem keseharian, tinggal PR berikutnya mengarahkan kepada nilai-nilai Islam yang lebih utuh, dan itu Insya ALLOH lebih mudah.
Karenanya, A3ST nggak sekedar prokem,apatah lagi sekedar istilah tanpa makna, ia adalah wujud "creat a value ", sebuah perlawanan untuk imperialisme fikroh.
So...... masih malu bro/sist ? siapa takut ?


Senja di tempat penuh cinta, Maret 2006

Tuesday, March 07, 2006

Jejak - Jejak di Padang Ilalang

bekas langkah-langkah itu bercerita;
berjelaga,
kelam,
perih,
darah,
dan keceriaan
hanyalah milik dongeng maya
sedang, ilalang bertutur;
tiada mengapa;
diri dianggap hina,
tiada nilai,
diinjak,
kambing hitam anyir darah
jejak yang merebahkannya
hanya ketundukan yang meraja
membisu,
kaya tapi sahaja

Sekpa, Maret 2006

Hitam Jaman

ramai dunia mengadu
dan aku masih tenggelam dalam sepi
wajah jaman pekat
mati aku dibunuh lara tak bernama
dunia merintih
tertikam pisau peradaban