Friday, May 12, 2006

Sedang Az Zahro pun Menangis

Selepas subuh sebuah sms masuk di HP 3330-ku : " ane lagi bingung akh, beberapa cobaan sedang menimpa ane........", sms tersebut dari seorang sahabat di kampung halaman, beliau sudah menikah dan dikaruniai seorang putra.

Ada apa ya dengan al akh -ku ini? pikirku, tidak seperti biasanya sahabatku sentimentil seperti ini, di tengah pertanyaan yang terus berkecamuk, aku sempatkan untuk memberikan sekedar tausyiah untuk beliau, minimal agar beliau tidak merasa sendiri pada masa-masa seperti ini.

Beberapa hari kemudian kami bertemu, dan terkuaklah masalahnya, bahwa saat ini dia sedang dirundung banyak masalah dan satu masalah yang cukup membuatnya bingung adalah masalah ekonomi mahligai rumah tangga yang dia bangun. Wah....untuk yang satu ini aku harus menyerah, tidak terlalu banyak bantuan yang bisa kuberikan : pertama, karena aku belum menikah sehingga belum pernah merasakan bagaimana harus mengatur perekonomian sebuah rumah tangga. Kedua,jika masalahnya adalah " bagaimana menggali potensi diri untuk memperoleh maisyah?", maka sekali lagi aku bukan orang yang tepat untuk memberikan solusinya. Dan yang bisa kuberikan saat itu hanyalah sekedar menyediakan telinga untuk keluh kesah, bahu dan bentangan lengan untuk bersandar, dan sedikit ruang hati sebagai bejana untuk menampung keresahannya.

Hanya mungkin satu pelajaran yang bisa kurangkai dari peristiwa ini adalah bahwa "kecukupan" finansial-menurut ukuran-ukuran kebutuhan dan bukan sekedar lifestyle- dalam sebuah rumah tangga adalah menjadi suatu hal yang mutlak diperlukan. Bahwa kemudian yang diperlukan di sini adalah kerja-kerja manusiawi yang bisa melahirkan sumber penghasilan keluarga, agar kebahagiaan senantiasa membaluri belahan jiwa kita.

Dan memang inilah ketakutan terbesarku, jika kemudian harus menyaksikan kesedihan istriku kelak, karena bagiku memamah kesedihan untuk diri sendiri, rasanya jauh lebih mudah daripada harus menyaksikan orang yang kita cintai harus mencicipi kesedihan itu.

Sekokoh dan setegar apapun hati istri kita, salahkah jika kemudian dia ingin rumah yang layak, sandang yang baik, dan keinginan-keinginan akan kenikmatan dunia lainnya? patutkah jua kita menyalahkan jika kemudian dibalik senyumnya yang menyejukkan itu, kesedihan sedang merajai hatinya saat keinginan-keinginan itu belum terpenuhi?

Sedang Fatimah Az Zahro pun menangis, saat beliau merasakan teramat berat mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena keterbatasan ekonomi dalam mahligai rumah tangga yang dibangun dengan Ali bin Abi Tholib RA, salahkah ia? barangkali senyampang Fatimah Az Zahro dan istri kita adalah manusia maka jawabannya adalah "tidak".

Dan salahkah juga, ketakutan para ikhwan yang tidak segera menggenapkan dien ini, karena harus menyiapkan "bekal" agar kuncup kebahagiaan itu senantiasa merekah di ladang jiwa istrinya, hingga kesedihan enggan bersemayam dalam hati mereka. Bahwa janji ALLOH SWT adalah pasti terjadi , namun sunnatullah-nya harus dijemput dengan kerja-kerja manusiawi kita .........

Sebuah catatan di masa lajang, Mei 2006