Friday, April 28, 2006

Pelacur

Barangkali tidak usah lah kita sebut mereka dengan eufimisme-eufimisme yang melenakan ; tuna susila, kupu-kupu malam, penghibur, atau apalah itu, kalau dengan istilah - istilah pemanis itu semakin mengukuhkan sikap kita untuk acuh pada mereka,kalau dengan itu akan menghapuskan jurang pemisah antara kehormatan dengan kenistaan. Bahwa kemudian frame berfikir yang melahirkan sikap kita, dimulai dari cekokan - cekokan istilah untuk melabeli suatu objek, pelacur tetaplah pelacur; hina, nista dan Tuhan melaknatnya , " eufimisme ada batasnya ....." demikian tutur seorang cendikia.

Dan tidak usah lah kita bertanya "siapa?" sementara para wanita yang mengais rejeki dengan menjajakan kemolekan tubuh itu pun tidak pernah bertanya mengapa mereka harus setia bergumul dengan lumpur dosa itu. Sama halnya dengan pertanyaan yang tidak pernah muncul di benak orang - orang yang tak pernah lelah memandang mereka dengan hina tapi diam - diam merindukan kehadirannya, dan seabreg penistaan itu tak pernah lelah pula harus dibalas dengan memajang senyum di wajah dan sentuhan - sentuhan manja betapa pun raja kesedihan sedang bertahta dalam jiwa. Barangkali keluhan, umpatan,lara dan selaksa kekecewaan hanya bisa mereka uapkan dalam lenguhan-lenguhan panjangnya.

Bisnis kelamin adalah lingkaran setan yang terlalu kompleks untuk memuaskan rasa ingin tahu kita dimana awal mulanya, dan siapa yang patut di-duduk-an di kursi tersalah. Ada permintaan - ada produsen, dan ada pula para "makelar" yang barangkali tidak pernah kita sangka sebagian besar adalah orang terdekat dan sejatinya patut untuk melindungi mereka : pacar, suami,penguasa ( baca : pemerintah ), bahkan mungkin bapak- ibu mereka.

Kalaupun kita melihat mereka mengumbar senyum, sejatinya bukanlah sebuah kebahagiaan : pertama, karena senyum mereka lah salah satu komoditi yang bisa dibarter dengan beberapa lembar rupiah. Kedua, karena hanya itulah satu-satunya keceriaan yang bisa diramu agar esok masih bisa berbinar untuk menghirup udara dan menantang sengatan sang surya.

Toh demikian, perlukah kenistaan itu dilekatkan juga untuk jiwa - jiwa mereka?. Jiwa yang betapa pun kotor pekerjaan mereka, ada suatu kerinduan yang berbisi-bisik dalam hati bahwasanya mereka juga ingin menjadi wanita terhormat, dipandang tidak dengan kacamata sejarah kelam, mendongak bangga, atau juga dalam keheningan malam selepas letih "bekerja" ada pesan - pesan yang dititipkan pada angin agar suatu waktu Tuhan tidak lagi memandang mereka dengan wajah murka.

Ya ....... selain segudang cercaan, terlalu sedikit - lebih tepatnya tidak ada - kontribusi yang sudah aku berikan untuk "tubuh - tubuh kotor" itu hingga ucapan lirih seorang ustadz - seolah- olah juga sebuah refleksi diri - terngiang : "masuk surga, orang yang bisa memyelamatkan para pelacur itu dari lembah dosa .....". Dan tiba - tiba ada kegetiran yang memapahku membumbungkan doa untuk mereka serta tidak putus - putus mengelus dada sembari bergumam : astaghfirulloh ..................

O, April 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home