Sunday, June 29, 2008

Tamri, Namanya

Berharap mendapatkan kesenangan seolah berpiknik, sama sekali tak terbersit dalam benakku. Kalau saja isteriku tidak merajuk untuk ikut serta dibumbui tatapan memelasnya-yang selama ini selalu sukses membuatku takluk untuk meluluskan segala keinginannya- tentunya aku tidak akan mengajak ia untuk mengambil data guna keperluan risetku. Kekhawatiranku bukan tanpa alasan, karena usia kandungan isteriku kini memasuki 5 bulan.

Seperti dugaanku, pagi itu begitu terik. Dan untuk topografi daerah kritis nan tandus rasanya tidak begitu mengherankan tidak ada satu pun pepohonan yang bisa dimanfaatkan untuk berteduh di lokasi objek risetku.

Satu hal yang membuatku tetap bersemangat: keceriaan isteriku. Tidak dihiraukannya sengatan matahari yang begitu terik. Berpayung, dan ngemil sebanyak-banyaknya bekal yang kami bawa, isteriku terlihat begitu lucu. Ia dengan mudahnya mengesampingkan kondisi yang tidak nyaman itu, seolah sedang plesir di pantai Kuta.

Namun kelegaan itu tidak berlangsung lama.Semakin siang, suhu udara semakin ttinggi, hal yang tidak teramat sulit untuk lekas menghapus keceriaan dari wajah isteriku.

Di tengah kebingunganku, seorang lelaki yang sejak tadi sepertinya memperhatikan kami dari tempatnya yang tidak jauh dari objek risetku, begitu ramah menawarkan tempat berteduh sembari mempersilahkan kami untuk istirahat di kursi malasnya yang terbuat dari bambu.

Tamri nama lelaki itu, namun ia lebih akrab disapa Ambon karena rambut kriwilnya ditambah kulitnya yang legam, fisiologi khas saudara-saudara kita dari Indonesia Timur. Di tempat itu ia tinggal di sebuah bekas box kontainer yang ia manfaatkan untuk kamar. Ia bekerja sebagai buruh angkut sekaligus penjaga gudang sebuah perusahaan pasir besi.

Sejenak mengobrol dengan mas Tamri, kesan yang muncul adalah bahwa pria ini baik hati, sopan dan ramah. Satu-satunya alasan yang membuat isteriku takut awal mulanya dengan mas Tamri karena sekujur kedua lengannya yang berhias tato.

Kami begitu akrab, kendala bahasa Mas Tamri yang terbata-bata berbahasa Indonesia, tidak menghalangi suasana cair diskusi kami. Dari diskusi pula aku mengetahui keluarga dia, impiannya sekaligus sejarahnya hingga ia terdampar di Surabaya.

Ia seorang yatim-piatu, satu-satunya saudaranya hanyalah kakaknya yang sekarang tinggal di kota Darwin- Australia. Kakaknya menikah dengan wanita setempat yang menjadikannya berganti kewarganegaraan dan akhirnya berprofesi sebagai anggota angkatan darat negeri kanguru tersebut.

Mas Tamri sudah berkali-kali ditawari untuk tinggal di Australia oleh kakaknya, namun ia dengan halus menolaknya. Hal yang membuatku terkesan, alasan penolakan itu: ia ingin berjuang hidup untuk dirinya, tanpa bergantung orang lain.

Satu lagi kekagumanku: di tengah kesibukannya menunaikan amanah kerja yang cukup berat, ia tidak lalai untuk menunaikan sholat, ia seorang muslim. Kontras sekali dengan stigma orang bertato dan buruh kasar bukan?

Ya, dan senyum manis mas Tamri membayang, ditingkah lirih tutur isteriku " banyak orang baik, Mas"



Tambak Garam di Pesisir Gresik, Juni'08

Mertuaku, Guruku

Udara siang itu cukup terik, di ruangan yang tak berpendingin tersebut, keringat dingin membasahi tubuhku. Lidahku seakan kelu, diskusi dua keluarga yang sedang menentukan kesepakatan untuk waktu pernikahan kami, tidak begitu kuikuti sepenuhnya, entah saat itu aku berfikir apa. Aku hanya merasakan kepanikan yang luar biasa membayangkan jika kemudian hasil dari pertemuan itu nantinya memperlama prosesi ikatan suci itu dilakukan.

Ketakutan yang aku kira cukup beralasan, ketika menyaksikan tidak bertemunya 2 pendapat yang berbeda tentang penentuan hari, yang satu berkeinginan untuk dipercepat dengan alasan menghindari fitnah sedangkan yang lainnya berkeinginan agar prosesi ini memiliki waktu yang cukup matang untuk dipersiapkan. Dan untuk beberapa waktu kedua pendapat ini belum bisa berkompromi.

Hingga kebuntuan pun akhirnya terpecahkan saat dengan tegas bapak mertuaku saat itu berujar, " Bapak-ibu sekalian, esensi kebahagiaan itu sejatinya adalah ketentraman, dan ketentraman merupakan buah dari sikap ke-cukupan kita.Sekiranya kemampuan maksimal kita hanya bisa mengisi setengah gelas, maka lebih kalau kemudian kita tidak "neko-neko" memenuhi gelas tersebut, jadi saya kira tidak ada alasan untuk mengulur prosesi sakral ini".

Kalimat ajaib inilah yang kemudian membuat acara khitbah itu pun kemudian menetapkan Jum'at, 14 Desember 2007 sebagai waktu untuk menggenapkan separuh agama kami, 26 hari setelah proses khitbah, waktu yang tergolong supercepat bagi keluargaku, bahkan di luar bayanganku.

Barangkali untuk beberapa orang -bahkan mungkin aku- kalimat itu tidak sepenuhnya benar, namun kesahajaan dan simplifikasi masalah mertuaku membuatku harus mengacungi jempol kepada beliau.

Dan kekagumanku ini kemudian semakin bertambah, setelah melihat keseharian beliau. Lelaki yang hampir seluruh rambutnya telah memutih ini, sangat sederhana, pekerja keras, dan begitu bijak dalam memandang kehidupan. Hampir setiap kami ngobrol berdua, begitu banyak kekaguman membuncah di benakku mendengar tutur nasehatnya.

Beliaulah yang dengan segala kelapangan hati, mau menerima lelaki biasa yang penuh keterbatasan ini untuk menjadikan putrinya belahan hidup.

Lelaki paruh baya inilah yang sering menguatkan menantunya untuk bertahan dengan prinsip hidup yang diyakini, tanpa harus terpengaruh dengan hiruk pikuk apa kata orang.menjadi manusia merdeka, terbebas dari lingkaran caci dan puji.

Dan tidak teramat sulit bagiku untuk memajang sosok beliau dalam dinding jiwaku, menambah deretan panjang orang - orang yang aku begitu menyukai untuk memandang lekat - lekat wajahnya, orang - orang yang menjadi guru bagiku.

Terima kasih bapak, Terima kasih atas bidadari yang telah engkau percayakan kepadaku, betapapun aku bukan lelaki mulia....

Segala Puji Syukur Bagi-Mu, Duhai Tuhanku.....

Salatiga, Pukul 00.00 Tahun 2008

Catatan Seorang Suami

Menjadi suami? Hal yang dahulu begitu kuimpikan. Entahlah rasa apa yang sedang menggelegak dalam jiwa. Namun kerinduan untuk segera bertemu dengan pasangan jiwaku seolah sudah melebihi kadar kemampuan seorang lajang untuk bertahan. Dan kini aku hadir sebagai seorang suami, impian yang mewujud, ya aku kini bersanding dengan seorang bidadari.

Kemudian kini hidupku sedang penuh diliputi kejutan-kejutan. Kehidupan yang semula kupahami (seolah) sebagai kebebasan tanpa batas, kini harus benar-benar menyadari, ada hati yang harus dijaga, ada benih cinta yang harus senantiasa disemai, dipupuk dan dijaga pertumbuhannya di ladang jiwa.

Hadir sebagai seorang suami, menuntut diri untuk senantiasa menghadirkan dan membaluri pasangan kita dengan kebahagiaan, karena kebahagiaan terbesar seorang suami barangkali bukan sekedar terpenuhinya langit-langit harapan, namun melihat senyum manis bidadari kita terukir di wajahnya senatiasa adalah penghapus segala lara.

Di sinilah uniknya, cinta dan keinginan untuk memborong kebahagiaan untuknya terkadang menjadi semacam pintu untuk menyakitinya. Ironi? Barangkali bisa dibilang begitu, tapi bukankah memang itu hal wajar yang terjadi sebagai efek relasi dua orang insan berbeda yang belum pernah mengenal sebelumnya, dua presepsi tentang bahagia yang belum bersua.

Ya, kami hadir dalam keragaman, banyak warna, menyulamnya dengan benang cinta. Dan saat ini diperlukan tingkat kedewasaan yang begitu rupa untuk menahan diri menuntut pasangan kita seperti yang kita inginkan. Karena betapa pun ia tetap adalah dirinya, apa yang lebih menyakitkan dari keterpaksaan untuk menjadi orang lain bukan?

Ini hanya masalah waktu, aku menyakininya. Dan tidak diperlukan rumusan-rumusan sikap, aku kini ingin mengalir, sebisa yang kubisa, aku akan selalu ingin membuatnya tersenyum, biarlah hanya Tuhan yang Tahu betapa aku begitu mencintainya, karena mencintai adalah bentuk ibadahku kepada-Nya. Dan aku bukan pedagang kelontong yang selalu memaknai setiap memberi harus menerima, hidup terlalu sempit untuk selalu dimaknai sebagai transaksi rugi - laba.

Apakah mencintai dan berusaha menjadi baik, modal yang cukup untuk menjadi suami? Biarkan realitas yang menjawabnya, satu tekadku: mencintainya hingga ujung waktuku, cukup bagiku.


Rumah Cinta, Maret 2008
"Terima kasih, telah menemaniku"