Sunday, November 05, 2006

Anak - Anak Cahaya

Jika engkau bertanya berapa harga kebahagiaan? maka harga serupa yang harus ditebus untuk mencerabut keceriaan dari setiap urat jiwa adalah jawabnya. Keberhagaan sesuatu yang ( pernah ) kita miliki, akan terukur manakala kita hadir dalam episode kehidupan bertajuk "kehilangan", hingga kemudian semua indrawi akan menakar sejauh mana nilai guna sesuatu yang hilang.


Kehilangan, barangkali momentum yang tidak pernah memberikan kesempatan kepada kita untuk menyisakan ruang suka, serupa cinta yang menguap untuk kemudian berganti rupa dengan wajah lara dan tidak berselang lama menjadi kebencian, dalam banyak hal, termasuk kebencian akan kehidupan itu sendiri.


Sejarah tidak pernah berhenti menyodorkan kepada mata-mata mungil tanpa bersalah itu kenyataan yang membuncahkan beribu-ribu pertanyaan " mengapa?" , tetapi kemudian pada saat yang sama jawabannya adalah sebuah kesadaran yang dipaksakan bahwa diri mereka terlalu lemah untuk sekedar berkata "tidak".


Di pojok bumi ini sedang meringkuk seorang bocah, menatap takut wajah menyeringai puas orang yang telah menyakitinya, dalam banyak macam rupa ; perdagangan anak ( human trafficking ),pelacuran di bawah umur, korban perang, penistaan kehormatan ( pedofilia ), dan seribu wajah angkara lainnya


Dan bocah - bocah itu, pantaskah jika kemudian jenak-jenak keceriaan-yang patutnya dirasakan sekali dalam fase kehidupannya-terenggut?


Peradaban ini dibangun atas dasar energi bernama harapan, kekuatan yang membuat seorang renta menanam pohon di usia senjanya tanpa ia sendiri tahu untuk menuai buahnya, pun energi yang sama dirasakan seorang ibu membaluri buah hati dalam telaga kasihnya tanpa mengetahui terbalasnya budi baik itu.


Dan masa kanak-kanak adalah waktu untuk menyemai harapan, energi untuknya menyambung hidup. Bahwa kemudian pada fase ini, sebuah pijakan untuk men-set seberapa berkualitas jiwa-jiwa baru untuk tumbuh nantinya. Apakah kemudian ia tumbuh menjulang hingga menembus cakrawala sejarah atau cukup menjadi bonsai, kesemuanya bergantung seberapa baik pohon harapan itu dirawat.


Aku, Engkau dan kita semua adalah bapak - ibu peradaban. Kita adalah - seperti kata Kahlil Gibran- busur bagi melesatnya anak-anak panah peradaban ini. Namun betapa pun bocah-bocah itu adalah putra-putri sang hidup,tapi amanah kita untuk menyediakan "rumah" yang layak bagi jiwa-jiwanya,selaksa cinta buah dari amanah karena di rahim ibu mereka janji kehidupan diikrarkan saat Tuhan mereka bertanya " Alastu birobbikum..?" kemudian janin mungil itu pun menjawab " Qolu bala syahidna ..."


Kota Cinta, 05 November'06

Saturday, November 04, 2006

Bu, Aku Sudah Dewasa...

Malam itu bisa jadi malam terpanjangku dengan ibuku.
Satu malam sebelum kepergianku, kembali ke Surabaya, malam dimana kami bercerita banyak hal, satu kebiasaan yang entah berapa lama tidak lagi kami lakukan...


Toh, malam itu beberapa kali kami tergelak, menceritakan kembali kelucuan - kelucuan dan kenakalan masa kecilku.
Bagaimana bandelnya aku kalo disuruh tidur siang, sering kalo disuruh bobok siang, pura-pura tidur trus kabur kalo orang rumah sudah pulas di peraduan.
Bagaimana dulu aku pernah bikin heboh orang sekampung-dikirain hilang- padahal keasyikan berenang di empang, karena takut dimarahin, pulang-pulang ngumpet di kolong ranjang.
Bagaimana kecilnya tubuhku diantara teman sebayaku tapi sukanya berantem mulu ama orang yang jauh lebih gede ukuran tubuhnya.
Bagaimana "cerdas"-nya aku memprovokasi temen-temen TK untuk tidak beli es dagangan De Nah,seperti kata guru TK-ku yang diceritakannya ke ibuku beberapa waktu yang lalu ; " jangan beli es De Nah, nanti bikin panas dalam..."
Duh ibu,udah dong, kan jadi malu .....


Jam satu malam telah terlewati, dan belum ada kelelahan yang nampak di wajah kami,merangkai cerita perjalanan 23 tahun dalam percakapan yang bisa jadi tidak pernah dirasakan seorang anak di kolong langit sana, percakapan ibu dan putranya, adakah yang lebih indah ?


Hingga beberapa saat percakapan kami harus berhenti, saat kusampaikan; "Bu, gimana kalo setelah bulan maret esok aku menikah? ".


Ibuku menghela panjang,sejenak kemudian kelopak matanya basah, setelahnya untaian panjang "wejangan" kembali dituturkannya.


Kini giliran aku yang terhenyak sambil garuk -garuk kepala, saat ibuku balik bertanya; " boleh, dengan siapa? "


Penghujung Malam di Kota Cinta, 03 November'06