Wednesday, May 30, 2007

Tafsir

Dunia kata adalah milik para pujangga sedang jagat simbol (hanya) dimiliki oleh para penafsir. Dan kemudian polarisasi klaim kebenaran sejatinya selalu berpijak pada dua poros yakni dzahiriah (dunia wadag, realisme) dan ta'wiliyah (metaforik,simbol,kiasan )

Tak perlu selalu memampang dahi berkerut, beberapa lipatan, untuk memahami sebuah realitas dengan maksud menangkap pesan tersembunyi di baliknya, pun juga tak perlu selalu percaya bahwa setiap kata adalah sebuah fakta, rasanya adalah sikap terbaik untuk kemudian kita tidak terjebak pada kadar yang melampaui batas memihak salah satu diantara klaim kebenaran tadi.

Kita sekarang berada di jaman yang standar sebuah fakta bukanlah representasi kata, juga kita sedang berpijak di era dimana tafsir sebuah realitas adalah kepentingan yang tidak jarang dipolitisasi atas nama norma, keyakinan.
Kita tidak se-goblok sang baginda raja dalam sebuah hikayat yang seketika terhenyak saat melihat tikus berukuran "jumbo" , sejurus kemudian bertanya kepada patihnya "kenapa ada tikus segede itu?",dengan entengnya sang patih menjawab "itu karena begitu makmurnya negeri ini hingga tikus pun begitu menikmati kemakmuran", dan sang baginda raja pun manggut-manggut puas.

Sama halnya dengan tidak perlu menguji kecerdasan kita, untuk menjawab dan menyimpulkan pertanyaan kenapa di negeri yang konon tongkat pun bisa jadi tanaman, tetapi banyak yang busung lapar, dan (terpaksa) makan nasi basi?

Tirakat,melestarikan kearifan lokal paling purba, atau barangkali orang-orang itu para puritan, pendeta, rahib yang senatiasa berpuasa?

Dan dongeng - dongeng penebar pesan untuk senantiasa bersabar atas penindasan ini, menjadi rabuk bagi tumbuh suburnya kekerdilan jiwa untuk melawan bagi para tiran.

Boleh engkau kelaparan, anakmu tak lagi harus berpendidikan, dan biarkan rumahmu tercabik-cabik bencana, dan engkau tak punya kuasa lagi untuk mengatasi segalanya. Tetapi engkau harus tetap hidup dengan sisa-sisa nyawa yang ada untuk yakin dan legowo menyaksikan bahwasanya para pemimpin yang saat ini lebih senang tebar pesona itu adalah para titisan dewa yang bisa menyelesaikan segala masalah.

Jika senyum adalah simbol kebahagiaan,ekspresi kemakmuran, maka negeri kita adalah negeri surga, lihatlah senyum puas para penguasa membodohi kita, senyum artifisial para pelacur mempertaruhkan nasibnya esok hari, hingga senyum kecut rakyat jelata akan masa depannya yang gelap, hitam.

Dan gelap sendiri adalah simbol kesunyian, kesahajaan, misteri, dan kebeningan jiwa. Bukankah Tuhan "turun" ke bumi,dan mendengar keluh tanpa tabir dari hamba-Nya, adalah di malam hari, pasangan dari kegelapan itu sendiri?

Surabaya, rintik hujan di akhir Mei 2007

Sunday, May 13, 2007

Simbol

"Kata adalah sepotong hati..." ucap seorang cendikia,dan ketika tidak semua maksud, hasrat dapat terwakili dengan kata, maka ijinkan aku menambahkan "potongan yang lainnya adalah dunia simbol, tafsir ...".

Jika kemudian budaya kita tidak lagi menganggap elegan teriakan lantang " Aku lelaki sejati ..." maka cukuplah dengan mengenakan jaket kulit hitam plus kacamata warna serupa, mengendarai moge (motor gede), dan tak lupa (sedikit) memampang wajah garang, maka berbanggalah, karena anda tak perlu harus berteriak seperti tukang bakso menjajakan dagangannya, untuk mengatakan betapa macho-nya diri anda.

" Aku memberontak, maka aku ada" ucap cendekia yang lain, menjadi legitimasi "penegasan eksistensi " untuk kemudian setiap entitas yang bercokol di muka bumi bernama manusia ini wajib menampakkan jati dirinya.

Dan kemudian kita menemui keragaman peran eksistensi itu sebagai sebuah keniscayaan yang kita beri nama potensi kekayaan budaya, seperti berpasangannya kebaikan dengan keburukan.
Ada jenis manusia yang selalu sibuk berganti dari satu topeng ke topeng yang lainnya,agar memenuhi kebutuhannya akan riuh rendah kekaguman.

Dan di belahan bumi yang lain ada jenis manusia yang dengan membusungkan dada seraya berkata : " Inilah aku, tanpa poles wajah, alergi topeng ...", sebuah kebanggaan untuk menunjukkan orisinalitas diri, mengatas namakan kejujuran.

Saat ini orang gandrung dengan sebuah acara talk show di televisi yang terkenal dengan jargonnya " kembali ke laptop", yang setiap tayangannya tidak pernah sepi mengumbar ungkapan-ungkapan sarkasme, bullying. Pun kemudian gegap gempita orang memuji segala tingkah polah tadi sebagai sebuah kejujuran, kepolosan, oase di tengah jumudnya orang-orang di negeri ini dengan segala kemunafikannya.

Dan kejujuran pun kini direpresentasikan sebagai kevulgaran.

Minimal ada dua alasan kita menyebut "kejujuran" ini sesuatu yang kebablasan :
Pertama, karena kaidah kejujuran sendiri tidaklah dengan mengekspresikan seluruh apa yang mengggelegak dalam jiwa kita.

Kedua, ada batas yang teramat tipis antara penegasan jati diri dan kesombongan, hingga bisa jadi "kejujuran" jenis ini menjadi justifikasi untuk terus berkubang dengan kesalahan yang diyakini sebagai ciri khasnya.

Sulit untuk menjaga keberimbangan antara bersikap tidak munafik dan tidak vulgar, sama sulitnya untuk menjadi manusia....

"Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda." salah satu kutipan di catatan Soe Hok Gie

Ungkapan skeptis? putus asa? atau sebuah bara semangat yang tersembunyi di balik sinisme?

Ah, tidak perlu berbuih kata untuk memperdebatkan, karena puluhan warga korban lapindo yang bertahan mogok makan pagi ini, lebih pintar untuk memahami apa itu kemunafikan dan bagaimana menghemat energi kesabaran dan harapan agar tak menguap sia-sia....

Surabaya, 13 Mei 2007