Thursday, February 22, 2007

Lelaki Tua Itu....

Bocah itu bergegas ke kelasnya, bersembunyi dan sejurus kemudian matanya menatap lekat lelaki tua penjual es lilin yang pagi itu baru mulai menggelar dagangannya di halaman sekolah dasar tempat ia bersekolah.

Dan tak menunggu lama pandangan itu untuk menghadirkan rasa iba di benak bocah yang baru menginjak kelas dua SD tersebut.

Rasa iba yang untuk selanjutnya tanpa pertimbangan dan logika rumit "memberi-menerima" orang dewasa, sang bocah pun merogoh uang di saku celana pendeknya.

Cara berfikir bocah ini sederhana : seorang lelaki renta masih membanting tulang untuk keluarga, bukankah cara membantunya dengan membeli dagangannya?

Ada dua ratus rupiah di sakunya, pemberian ibunya untuk bekal seharian di sekolah. Tapi pagi itu kembali sang bocah menyuruh teman sekelasnya untuk menukar uang dua ratus rupiahnya dengan es lilin lelaki tua, yang sejatinya sepagi itu ia pun tidak berselera untuk menikmati es lilin.

Aneh, bocah itu masih bersembunyi namun matanya masih menatap lekat lelaki tua yang meladeni temannya. Lebih aneh lagi saat temannya kembali, bocah itu hanya mengambil sebatang es lilin yang dibelikan temannya, tiga sisa es lilin lainnya dibagikan kepada teman-temannya.

Ya, pagi itu hati bocah itu sedikit lega,bekal dua ratus rupiah-nyamembuat mata lelaki tua penjual es lilin sedikit berbinar.

Episode berikutnya tidak jauh berbeda.

Kini, bocah kecil itu sudah tumbuh dewasa, dan kenangan dengan lelaki tua penjual es lilin pun telah lama terlupakan.

Tapi pada suatu senja, bocah yang telah berpredikat mahasiswa itu terhenyak, sejenak kemudian ada cairan bening yang menggantung di keduapelupuk matanya, saat dilihatnya seorang lelaki tua menuntun sepedamenawarkan es lilin.

Dan memori tentang lelaki tua penjual es lilin "karib"-nya saat ia masih bocah, kembali membayang. Lelaki tua yang entah kini dimana? bahkan mungkin sudah meninggal, tapi darinya bocah kecil itu belajar mensyukuri tentang banyak hal, termasuk pelajaran untuk berbangga melukis sejarah dengan keringat diri sendiri......

" ....Terima kasih pak tua, siapa pun namamu, sosokmu pernah mengisi ruang hatiku dan ijinkan kuceritakan tentangmu untuk anak cucuku kelak, agar semakin banyak orang yang selalu bersyukur apa yang dipunyainya..."

Kota perjuangan, di ujung malam 18 Februari'07

Saturday, February 17, 2007

Seratus Perak yang Begitu Berharga













Pagi itu udara masih begitu segar, rerumputan yang berkeramas embun, dan suasana jalanan kota Surabaya yang masih lengang, dengan membonceng sepeda motor, aku diantar oleh salah seorang temanku ke tempat kost, setelah semalam aku harus menginap di sekertariat Jamaah Masjid Manarul Ilmi (JMMI) ITS Surabaya.

Sekitar dua puluh menit kami pun sampai di tempat kost, dan kemudian temanku pun kembali ke tempatnya. Tidak ada yang aneh pagi itu, aku segera memasuki kamar, mandi, bersih-bersih kamar, dan mempersiapkan materi untuk rapat dengan teman-teman di kampus, yang sedianya diadakan empat puluh lima menit lagi.


Sampai akhirnya,ketika akan berangkat ke kampus, aku baru tersadar tidak ada uang sepeser pun di dompetku. Setengah panik aku mengubek-ubek isi kamarku yang sudah tertata rapi, berharap ada uang yang bisa dipakai untuk naik angkot ke kampus.


Dan ujian kesabaran baru saja dimulai pagi itu. Tidak ada uang sama sekali yang kutemukan,di dompetku hanya terselip dua buah kartu ATM,celakanya mesin ATM terdekat jaraknya tidak kurang sekitar satu kilometer dari tempat kostku.

Tidak ada seorang pun di tempat kostku yang bisa kumintai tolong,maka aku bergegas menuju mesin ATM, memburu waktu agar tidak telat memimpin rapat di kampus.
Tidak lagi kuhiraukan tubuhku bersimbah peluh setelah sekitar lima belas menit setengah berlari mencari mesin ATM. Dan mataku berbinar ketika aku akhirnya sampai di mesin ATM.
Namun tunggu dulu, episode bertajuk "ujian kesabaran" belum usai.Saat kumasukkan kartu ATM, berharap segera mengantongi uang, tiba-tiba muncul pesan di layar mesin ATM : "maaf proses penarikan tidak dapat dilakukan karena uang di mesin ATM habis".


Duuuuerrr....seperti tersambar petir, lemas aku membacanya,aduh bagaimana ini? waktu tinggal lima belas menit lagi sebelum agenda rapat di mulai. Astaghfirulloh, tidak henti-henti kalimat itu aku ucapkan. Bagaimana aku harus mengabarkan kepada teman-temanku bahwa rapat harus ditunda, sementara pulsa HP ku sudah "sekarat"?


"Ya Robb...tolonglah hamba-Mu yang lemah ini..." gumamku sembari berjalan pelan menuju tempat kost. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah lempengan kecil berbentuk bulat, usang , separuh bagiannya tertutup debu, setelah aku memungutnya baru aku mengetahui benda itu uang seratus perak. "Alhamdulillah....." pekikku, doaku begitu cepat terkabul, segera aku ke telepon umum dan menghubungi teman-teman di sekertariat JMMI, minta tolong agar teman-teman di sana ada yang menjemputku.


Dan tidak lama berselang seulas senyum manis saudaraku terlihat saat menjemputku, menghapus segala kepanikan dan rasa letih yang baru saja merajai diri ini, kemudian kami pun segera bergegas menuju ke kampus.


Subhanalloh, pagi itu ALLOH telah menyampaikan "mata kuliah" kehidupan tentang mensyukuri nikmat-nikmat-Nya yang mungkin karena rutinitas kita, seolah tidak berharga,betapa pun ia hanya uang seratus perak usang, sekalipun itu hanya seulas senyum yang terterjemahkan dari wadah selaksa cinta bernama ukhuwah.


Terima kasih ya ALLOH, pagi ini aku memiliki energi lebih untuk menantang matahari esok hari.....

Surabaya, 4 Februari 2007
PS: untuk ikhwah di JMMI ITS, terima kasih atas cinta dan ukhuwahnya selama ini ........

Saturday, February 03, 2007

Komodifikasi Cinta


Di era materialistis dan sangat kapitalistik ini, cobalah engkau ajak beberapa orang untuk berteriak di depan pasar menyampaikan keinginan kalian yang sama, maka tidak akan engkau harus menunggu lama pelbagai fasilitas-berorientasi ekonomis tentunya-akan disediakan untuk memehuni keinginan engkau dan kawan-kawanmu.

Dan jangan lagi engkau bertanya tentang batas-batas "previllege", sisi sakral kemanusiaanmu yang tidak boleh diperjual belikan, karena engkau akan ditertawakan, syukur-syukur kalau tidak hinakan.

Cantik, tampan, ketulusan, kehormatan, baik-budi, harga diri, tangis, tawa adalah komoditi industri yang tidak aneh dan memang laris untuk diperdagangkan, termasuk salah satu sisi emosi kita yang sejatinya agung ; cinta.

Engkau masih belum percaya?

Baiklah,besok saat engkau terjaga dari tidurmu di pagi hari dan kalender menujukkan tanggal 14 Februari, kalau engkau punya "orang dekat" yang mengasihimu mungkin mereka akan memberimu sepotong coklat, bunga, atau apalah,plus bonus sebuah kecupan sembari ucapan lirih "Say,selamat hari kasih sayang".

Atau kalau engkau bernasib sama seperti aku-anggota IJO LUMUT ( Ikatan Jomblo Lucu dan Imut )- tetapi berprinsip tidak (akan pernah) ingin pacaran atau membuat "ikatan melankolik" dengan lawan jenismu dengan dalih apapun ( koordinasi program dakwah, syuro,kopdar dan semacamnya) sebelum nikah, maka cobalah engkau buka jendela kamar tidurmu dan lihatlah ada apa di luar sana.

Jangan heran jika kemudian engkau melihat berduyun-duyun pasangan berkulit sawo matang,tapi berambut ( hasil kamuflase warna ) pirang-korban gegar budaya-saling memadu kasih mengatasnamakan momentum "hari kasih sayang".

Dan sekali lagi cukong-cukong pasar itu akan berjingkrak kegirangan menyambutnya dengan pelbagai aksesoris bernuansa cinta, dari barang yang "netral" semisal bunga, coklat, kalung, cincin dan sebangsanya sampai sesuatu yang membuat kita tidak henti-hentinya mengaruk-garuk kepala dan mengelus dada.

Apa hubungannya coba antara hari kasih sayang dengan "karet pengaman" berwarna pink yang diklaim mengokokohkan cinta dua insan manusia yang secara samar menyodorkannya pada muda-mudi kita?

Duh, mungkin kita akan dianggap terlalu naif untuk mempertanyakan hubungan "kasualitas-aksiomatik" antara cinta dan "silaturahmi kelamin" ( pra nikah )?
Keberanian ? bukti cinta? atau kedunguan berjamaah?

Sudahlah, lebih baik tanggal 14 februari esok dengan ditemani singkong rebus dan segelas air putih, kita menyimak seorang ustadz berkisah bukan tentang cerita pendeta valentino - yang menjadikan tanggal itu disebut dengan namanya- tetapi kisah tentang keagungan dan kesucian cinta Yusuf alahissalam dan Zulaikha.......

Kota Cinta, 3 Februari 2007

Andai Aku Seonggok Batu

pagi ini,
kembali kulihat keserakahan
di tukar air mata,
darah
dan gemuruh pekik lara

pagi ini,
kembali tersaji
wajah-wajah menyeringai bangga
melukis sejarah negeri dengan tinta
dari telaga nelangsa

pagi ini,
aku hanya bisa
menatap pilu

uh,

andai,
aku seonggok batu
yang tak harus meratap,
menangis,
di depan cermin buram sejarah


andai,
aku seonggok batu
hingga tak harus jujur
untuk mengakui,

bahwa
gemuruh tangis itu
karena keserakahan kami

bahwa,
berderet bencana ini
karena keangkuhan kami


andai,
aku seonggok batu
tidak perlu
kelak,
Tuhan bertanya dan akhirnya murka kepadaku


Kota Perjuangan, 3 Februari 2006

Memilih

Sesekali tidak ada salahnya jika kemudian kita menyediakan waktu untuk bercermin dan mengamati apa yang melekat dan ada di sekitar kita.
Sekedar untuk berhitung berapa banyak barang yang kita miliki dan tingkah kita yang kita lakukan merupakan sebuah terjemahan dari hasrat yang menggelegak di setiap cekungan jiwa ini. Untuk kemudian kita berani secara jujur mengakui dari keseluruhan hasrat itu motif dasar apa yang melatarbelakanginya?

Apakah ia yang muncul dari daya manusia untuk memilih berdasarkan selera dan sesuatu yang menjadi kelumrahan bagi jaman?

atau,

kita menjadi orang-orang "aneh" karena berani memilih untuk dengan legowo memiliki dan melakukan sesuatu yang tidak lagi mendasarkannya pada kesukaan semata serta dengan laku kita orang akan memicingkan mata,bahasa tubuh untuk mengatakan betapa tololnya kita menempuh jalan sunyi, kontra mainstream, melawan kewajaran jaman, terasing, abnormal.

Sebelum kita melihat hitam-putih dua pilihan di atas,ada baiknya kita menyepakati beberapa hal;

pertama,
bahwasanya kemampuan kita untuk melihat "view" baik buruk kehidupan ini sangat terbatasi oleh angle manusia yang sejatinya teramat lemah untuk bisa menjangkau sudut dan lorong gelap kehidupan.
Apa yang kita sangka baik, belum tentu tepat dan maslahat untuk kita. Bukankah Fir'aun menjadi manusia terkutuk karena melakukan pembangkangan paling primitif bernama kesombongan yang terbungkus lalai mengukur kemampuan diri?. Point ini mengajarkan kesadaran sekaligus ketundukan.

kedua,
sebuah standar nilai bukanlah sekedar konsensus norma, nilai-nilai yang dipegang teguh berdasarkan anggukan umum, bentuk kelumrahan, jamak? Sekali-kali tidak, karena kebenaran, agama, sesuatu yang kita menjadikannya hujjah, legitimasi untuk setiap jejak langkah kita, harus sesuai dengan epistimologi; sumber otoritas, sumber empirik, dan sumber rasionalitas.Yang terakhir ini mewakili pengetahuan dan ilmu.

Dan kembali pada urusan pilih - memilih, ia harusnya tidak lagi didasarkan urusan suka atau tidak ( selera ) dan umum atau tidak ( "kewajaran" ). Ada dasar yang berlevel lebih tinggi dari keduanya yakni baik atau tidak, benar atau salah.Karena inilah yang membedakan potensi memilih kita sebagai "ahsanu taqwim" -sebaik-baik makhluk-dengan makhluk lainnya, Islam mengajarkan demikian.

Ketika kita memilih untuk menyantap burger daripada roti sumbu tidaklah sekedar karena burger mewakili budaya post-modern dan singkong representasi jaman purba, "wong ndeso", lebih dari itu, semua harus dengan pertimbangan tentang halal dan thoyyib.

Hatta urusan pilih - pilah calon istri atau suami, kemudian kita harus tunduk dengan isyarat Rasululloh SAW ; pertama karena agama,baru berikutnya paras, keturunan, dan kekayaan.

Untuk yang satu ini, terus terang aku masih tertatih untuk belajar, minimal pertimbangan setelah dia akhwat ( muslimah ) adalah aku seolah-olah tidak melihat mak lampir saat memandang istriku kelak..........

Kota Cinta, 15 Muharrom 1428 H