Sunday, May 13, 2007

Simbol

"Kata adalah sepotong hati..." ucap seorang cendikia,dan ketika tidak semua maksud, hasrat dapat terwakili dengan kata, maka ijinkan aku menambahkan "potongan yang lainnya adalah dunia simbol, tafsir ...".

Jika kemudian budaya kita tidak lagi menganggap elegan teriakan lantang " Aku lelaki sejati ..." maka cukuplah dengan mengenakan jaket kulit hitam plus kacamata warna serupa, mengendarai moge (motor gede), dan tak lupa (sedikit) memampang wajah garang, maka berbanggalah, karena anda tak perlu harus berteriak seperti tukang bakso menjajakan dagangannya, untuk mengatakan betapa macho-nya diri anda.

" Aku memberontak, maka aku ada" ucap cendekia yang lain, menjadi legitimasi "penegasan eksistensi " untuk kemudian setiap entitas yang bercokol di muka bumi bernama manusia ini wajib menampakkan jati dirinya.

Dan kemudian kita menemui keragaman peran eksistensi itu sebagai sebuah keniscayaan yang kita beri nama potensi kekayaan budaya, seperti berpasangannya kebaikan dengan keburukan.
Ada jenis manusia yang selalu sibuk berganti dari satu topeng ke topeng yang lainnya,agar memenuhi kebutuhannya akan riuh rendah kekaguman.

Dan di belahan bumi yang lain ada jenis manusia yang dengan membusungkan dada seraya berkata : " Inilah aku, tanpa poles wajah, alergi topeng ...", sebuah kebanggaan untuk menunjukkan orisinalitas diri, mengatas namakan kejujuran.

Saat ini orang gandrung dengan sebuah acara talk show di televisi yang terkenal dengan jargonnya " kembali ke laptop", yang setiap tayangannya tidak pernah sepi mengumbar ungkapan-ungkapan sarkasme, bullying. Pun kemudian gegap gempita orang memuji segala tingkah polah tadi sebagai sebuah kejujuran, kepolosan, oase di tengah jumudnya orang-orang di negeri ini dengan segala kemunafikannya.

Dan kejujuran pun kini direpresentasikan sebagai kevulgaran.

Minimal ada dua alasan kita menyebut "kejujuran" ini sesuatu yang kebablasan :
Pertama, karena kaidah kejujuran sendiri tidaklah dengan mengekspresikan seluruh apa yang mengggelegak dalam jiwa kita.

Kedua, ada batas yang teramat tipis antara penegasan jati diri dan kesombongan, hingga bisa jadi "kejujuran" jenis ini menjadi justifikasi untuk terus berkubang dengan kesalahan yang diyakini sebagai ciri khasnya.

Sulit untuk menjaga keberimbangan antara bersikap tidak munafik dan tidak vulgar, sama sulitnya untuk menjadi manusia....

"Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda." salah satu kutipan di catatan Soe Hok Gie

Ungkapan skeptis? putus asa? atau sebuah bara semangat yang tersembunyi di balik sinisme?

Ah, tidak perlu berbuih kata untuk memperdebatkan, karena puluhan warga korban lapindo yang bertahan mogok makan pagi ini, lebih pintar untuk memahami apa itu kemunafikan dan bagaimana menghemat energi kesabaran dan harapan agar tak menguap sia-sia....

Surabaya, 13 Mei 2007

0 Comments:

Post a Comment

<< Home