Wednesday, August 16, 2006

Orang Miskin Dilarang Sakit

Malam itu, tepat pukul 22.00 bersama dua orang teman, aku tiba di sebuah rumah sakit umum, menjenguk bapak salah seorang temanku yang dalam stratifikasi sosial berdasarkan kemampuan ekonominya sering disebut dengan kaum menengah ke bawah, sebuah kamuflase kegagalan pembangunan untuk tidak menyebut mereka sebagai orang miskin, melarat, kere.

Menurut diagnosa dokter beliau sakit ginjal stadium 3, dan saat itu kondisinya cukup kritis. Tapi kemudian yang jadi permasalahan adalah dengan alasan prosedur administratif , penanganan yang diberikan seolah-olah memang didesain sedemikian rupa hingga biarlah orang miskin seperti bapak temanku tadi tak usah berlama-lama bercokol di muka bumi ini,dan semakin berkuranglah orang-orang berpredikat miskin.

Belum lagi batin ini seperti ditusuk-tusuk ketika harus menyaksikan sarana rumah sakit yang tak ubahnya kamp pengungsian dan jangan tanya soal pelayanan yang diberikan, bahkan kepada para tamu yang bertandang seolah-olah melihat plang besar terpampang di wajah mereka "tidak ada keramah tamahan di sini bung"

Uang memang alat yang luar biasa,bahkan dalam institusi sosial seperti rumah sakit, dengannya kita bisa membeli senyum para perawat,kecekatan seorang dokter, bantal dan kasur empuk, asupan yang bergizi, bahkan jika kemudian Tuhan memberikan otoritas untuk menentukan hidup dan matinya manusia di tangan seorang dokter, mungkin mereka akan memperjual belikannya.

Tidak ada kalimat lain yang menggumpal dalam benakku saat itu selain; " terkutuklah para penjahat negeri ini yang merenggut dan menghisap habis kesejahteraan 120 juta rakyat yang menyandang gelar miskin"

Sekalipun pada akhirnya bapak temanku tadi menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit, tapi minimal beliau akhirnya terbebas untuk tidak lagi melihat wajah-wajah cemberut perawat dan dokter-dokter itu dan moga dengan kesabarannya sebagai orang yang (di)-miskin-(kan) bisa membeli jannah-Nya, amien......


Indonesia, 22 Juli 2006

Sendiri

Ujian perjuangan sesungguhnya akan sangat terasa bukan di saat munculnya kesadaran komunal, kerja kolektif, tetapi di saat "bangunan baru" itu harus kita susun sendirian.

Jangan tanya bagaimana perasaan nabi Nuh allahissalam saat kebanyakan kaumnya-bahkan anak dan istrinya-menentangnya, pun juga tidak usah bertanya bagaimana perasaan Rasululloh SAW dinistakan kaum quraisy saat-saat awal dakwahnya. Karena diluar kapasitas keduanya sebagai manusia pilihan-Nya, barangkali apa yang kita rasakan saat kita harus tertatih-tatih sendirian pun sama dirasakan oleh mereka.

Ke-sendiri-an merupakan "terminal" pengejahwantaan sebuah idealisme, asa, dan segala impian kita,untuk kemudian memberikan kepada diri ini pilihan : apakah meneruskan membangun monumen kehidupan, ataukah kita mundur teratur.

Pada fase ini, sebuah idealisme bisa bertiwikarma sedemikian rupa hingga melahirkan "masterpiece" atau paradoks dengannya malah bisa pula menjadi hilang tak membekas dan hanya mengukir predikat pecundang pada nisan jiwa kita yang telah gugur sebelum waktunya.

Ke-sendiri-an bukanlah faktor fisik,kesendirian tidak mutlak ditentukan oleh angka atau faktor-faktor kuantitatif, karena kesendirian sejatinya adalah fenomena jiwa, domain afeksi.

Ke-sendiri-an adalah sebuah gapura waktu-tanpa rasa sakit (masa lalu) dan tanpa harapan (masa depan)-yang memberikan kesempatan kepada kita untuk bermesraan dengan waktu, mengurut-urut masa lalu, melukis masa depan. Bahwa kemudian proses ini menuntut kita untuk kembali mengendapkan semua gejolak jiwa hingga mata hati kita lebih jernih untuk bisa melihat "lubang-lubang" dalam lintasan sejarah kehidupan kita, semuanya agar kita tidak disebut keledai karena terjerembab di lubang yang sama.

Peradaban di manapun dibangun atas keresahan-keresahan panjang yang dimunculkan pada saat jiwa mengalami sensasi ke-sendiri-an, karena sejatinya ke-sendiri-an adalah sebuah cawan energi. Jika kemudian berhasilnya peradaban itu dibangun secara kolektif itu hanya karena ke-sendiri-an telah menemukan jiwa yang mengalami sensasi yang serupa.

Dan kalau engkau masih bertanya mengapa kita harus memiliki idealisme dan memperjuangkannya, maka mari aku antarkan engkau membeli kain kafan dan kemudian kita bungkus diri ini, karena sejatinya kita telah mati.


Masa-masa tersulit dalam hidupku, 19 Juli'06