Thursday, January 26, 2006

Berkaca di telaga Kasih Ibu

bunda hanya sedikit mengarang puisi untukku
tapi semakin lama kuamati
senyuman bunda adalah puisi
tatapan bunda adalah puisi
teguran bunda adalah puisi
belaian dan doanya
adalah puisi cinta
yang disampaikannya padaku
tak putus putus
tak putus putus

bahkan bila kutidur

(Mei 2003)

Bunda
engkau adalah
rembulan yang menari
dalam dadaku

Ayah
engkau adalah
matahari yang menghangatkan
hatiku

Ayah Bunda
kucintai kau berdua
seperti aku
mencintai surga

Semoga Allah mencium ayah bunda
dalam tamanNya terindah
nanti

(Januari 2002)
- Abdurrahman Faiz ( 10 tahun ) -


Berkaca di telaga kasih ibu, hanyalah citra dan warna - warna cinta yang
membayang dan bersemayam di sana.
Berkaca di telaga kasih ibu, mengatakan kepada kita bahwa pekerjaan
mencintai bukanlah pekerjaan yang mudah.
Berkaca di telaga kasih ibu, mengajarkan jiwa ini bahwa inti cinta itu
adalah pengabdian dan memberi.
Berkaca di telaga kasih ibu, mendidik anak - anak jaman bahwa cinta visi
tidak pernah terkungkung oleh sekat - sekat ruang dan waktu.
Andaikan predikat ibu adalah suatu profesi maka menjadi seorang ibu
berarti bersedia untuk minimal menjalani dua profesi sekaligus,yakni
sebagai pembantu rumah tangga - atau barangkali sedikit eufimistis sebut
saja sekertaris- dan sekaligus seorang pramugari. Sebagai sekertaris
karena dalam rentan waktu 24 jam ia mengemban amanah untuk memastikan
kebutuhan buah hati dan sang suami akan keberadaannya terpenuhi,sedangkan
sembari menunaikan tugas yang begitu berat itu dia pun dituntut senantiasa
menampakkan tampilan fisik yang menyenangkan hati.
Betapun beratnya beban yang harus bertengger di pundak karena aktivitas
yang tidak memberikan jeda untuk rehat, senyum dituntut untuk selalu
terpampang di wajah. Se-tiran apapun raja kesedihan yang sedang berkuasa
di kerajaan jiwanya,dia tak akan membiarkan sang buah hati dan belahan
jiwanya mengenal kata kesedihan apalagi untuk mencicipi pahitnya.
Dan rasanya sulit untuk membayangkan dari bahan apa hati seorang ibu
dibuat karena setiap ruang dan sudut hatinya senantiasa dipenuhi dengan
warna cinta seolah - olah kebencian dan dendam kesumat kehilangan
tempatnya untuk bertahta, pun sama sulitnya untuk memikirkan bahwa betapa
fisiknya tiada kenal lelah untuk menerjemahkan gumpalan cinta itu dalam
kerja-kerja yang laiaknya hanya bisa dilakukan oleh para pecinta sejati.
Sekalipun untuk mengejahwantahkannya menuntut diri tidak bosan memeras air
mata, dan tidak jarang harus berdarah - darah. Ya .... pekerjaan
mencintai, dengan cara apapun cinta itu diterjemahkannya, adakalanya cinta
itu berwajah ceria sembari disertai pujian-pujiannya namun terkadang tidak
jarang pula dalam topeng-topeng kemarahannya, namun tetap saja itu adalah
wujud cinta.
Dari rahim dan bentangan kasih mereka, amanah untuk menghadirkan pahlawan -
pahlawan yang menjadi pelita di lorong-lorong gelap peradaban,
mengajarkan kepada anak - anak insan untuk senantiasa mencintai-Nya.Hingga
tiada mengherankan sekiranya Rabb-ku menitipkan surga di telapak kakinya.
Maka sebelum kemurkaan Rabb-ku akan kedurhakaanku kepadamu ibu,
perkenankan aku bersimpuh, luruh, mereguk cinta dari telaga kasihmu
sembari lirih membisikimu "Aku cinta ibu".......

" Dan Kami perintahkan kepada manusia ( berbuat baik ) kepada dua orang
ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu " ( QS.
Luqman :14 )



Surabaya, Desember 2005