Monday, January 02, 2006

Robohnya Surau Kami

Aku bergegas menuju masjid saat kudengar adzan sholat Isya dikumandangkan , seketika kuhentikan langkahku ketika kulihat seorang bapak terbujur di teras masjid sembari memegangi luka sobek di kakinya yang cukup lebar, darah segar terus mengucur dari luka akibat terjatuh tersebut. Segera kuhampiri lelaki tersebut, dan sesaat setelah itu aku pun membawanya ke sebuah klinik terdekat. Ada luka yang merajai diri ini saat itu, selain mungkin ikut merasakan rasa sakit yang sedang dirasakan ada luka lain yang masih kurasakan hingga saat ini yakni bahwa pada saat itu tak satu pun jamaah sholat Isya yang berinisiatif untuk menolong si Bapak, mereka hanya melihat – itu pun hanya beberapa orang saja – kemudian berlalu pergi setelah puas mengomentari luka si Bapak. Astaghfirulloh….. apa yang sedang terjadi dengan “kita” ( maaf saya melibatkan anda dalam kasus ini, karena bisa jadi hal ini pun tanpa disadari pernah “kita” lakukan dalam konteks yang berbeda) ? tidakkah aktivitas ibadah kita seyogyanya semakin memoles kepekaan sosial hingga meningkatkan nilai –nilai humanisme ( baca : kemuliaan akhlak ) diri ini? Naudzubillahi min dzalik. Saya tidak ingin gebya-uyah ( mengeneralisasi ) dengan mengantarkan pembaca pada satu kesimpulan bahwa hal itu adalah fenomena yang sedang terjadi karena ke”nyataan”nya hal itu merupakan kejadian yang sifatnya kasuistik belaka, akan tetapi bisa jadi hal tersebut juga merupakan jigsaw – potongan gambar- dari suatu lukisan besar bertajuk : “In Memoriam : Telah Matinya Subtansi Ibadah Kita “.
Adalah suatu efek negatif yang selayaknya kita waspadai dari suatu aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang, kontinu dan akhirnya telah menjadi kebiasaan kita adalah hilangnya ruh atau esensi dari aktivitas tersebut, aktivitas itu kehilangan makna kenapa ia dilakukan dan akhirnya aktivitas itu bermetamorfosis hanya menjadi usaha pembebasan diri dari rasa “tidak enak”. Ketika sholat kita hanya dimaknai untuk mengejar pengalaman ekstase belaka, ketika puasa kita hanya melahirkan rasa haus dan lapar, saat tilawah kita hanyalah untuk mengejar setoran berlembar-lembar tiap harinya tanpa kita berkenan untuk mengetahui maknanya, saat ibadah haji itu mulai bergeser menjadi tidak lebih dari sekedar darmawisata dan usaha untuk menaikkan strata sosial kita dengan predikat “ Pak Haji atawa Bu Haji “- ampuni jiwa ini yang senantiasa lalai ya Rabb – maka saat itu kita telah menjadi orang-orang “puritan” dengan membangun menara gading sebagai istananya dan secara bersamaan efek utama ibadah mahdhoh -yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas akhlak kita terhadap sesama makhluk- layaknya fatamorgana dalam kegersangan jiwa ini. Dalam konteks yang lebih real , sungguh ironi jika setiap tahunnya jamaah haji Indonesia selalu bejibun -bahkan harus ada yang legowo untuk tidak ikut karena pembatasan kuota- namun senyampang dengan itu angka kemiskinan penduduknya juga cukup besar, kemudian yang tak kalah membuat kita harus mengelus dada, konon negeri yang terbesar jumlah muslimnya di dunia ini , segala bentuk kedholiman baik itu tersamar maupun terang-terangan, kelas teri sampai kelas kakap, kemaksiatan yang serabutan maupun ter-sistemik begitu lengkap adanya ( meminjam ungkapan Mustofa Bisri : “ apa yang tak ada di negeri ini ?” ). .Dan ijinkan saya mengutip pendapat ustadz Fauzil Adhim dalam mengomentari kualitas ibadah semacam ini : “ Mereka sedang berjalan menuju Tuhan, padahal yang terjadi sesungguhnya adalah sedang memuja dirinya sendiri. Mereka menjadikan dirinya sendiri sebagai sesembahan tetapi mereka tidak menyadarinya. Mereka mencari spiritualitas tetapi bukan untuk mengabdi kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. Mereka ingin memuaskan jiwanya yang sudah mendekati kondisi patologis. Karenanya yang mereka dengar adalah kegelisahan jiwanya . Bukan bimbingan Nabi “. Astaghfirulloh wa atubu ilaik …..
Bukankah Rasulullah SAW sendiri menegaskan bahwa risalah mulia yang beliau bawa adalah untuk menyempurnakan akhlak umatnya - “ Innama buitstu li utammimma makarimal akhlaq “ - selain itu janji surga dan neraka juga sering berkaitan erat antara khablum minalloh dengan muamalah kita kepada sesama manusia.
Saudaraku, mari “berhenti” sejenak dari segala rutinitas kita , mengendapkan hati dan mencoba untuk memeriksa kembali setiap jejak langkah kita apakah memang sudah sesuai dengan niatan kita untuk ta’abud ilallah dan apakah efek rahmatan lil alamin itu telah terpenuhi dari setiap tarikan nafas dan gerak gerik kita ? , dan ijinkan sekali lagi saya untuk menilik perkataan salah seorang ulama salaf , Fudhail bin Iyadh, berikut ini sebagai bahan muhasabah kita bahwa seolah – olah ayat kauniyah Aloh SWT maujud dalam segala dinamika interaksi kita dengan makhluk-Nya : “ Aku mengetahui dosa-dosaku kepada Alloh SWT melalui sikap istriku, anak-anakku, dan bahkan tikus – tikus rumahku “.
Astaghfirulloh…… astaghfirulloh…….. astaghfirulloh
Wallahu’alam bishowab

Candi nan menenangkan , 8 Mei 2005