Sunday, January 22, 2006

Kemiskinan itu, Pilihan?

Betapa pun pahit ujian kehidupan ini , memamah kesedihan untuk diri sendiri, rasanya lebih mudah daripada harus menyaksikan orang yang kita cintai harus mencicipi kesedihan itu, dan dalam konteks dan jangkauan " orang yang dicintai " inilah pada masing-masing individu berbeda. Hari ini, kita menyaksikan 60 juta jiwa -orang yang kita cintai ( ? )-harus menelan kemiskinan sebagai menu kehidupan mereka di negeri yang konon gemah ripa loh jinawi ini. Dan kemiskinan fisik pada 60 juta jiwa itu telah sukses melahirkan kemiskinan mental -sesuai dengan sabda Rasulullah : "kefakiran mendekatkan diri pada kekufuran"-yang memeras air mata kita,betapa tidak; kemiskinan berhasil me-make-up wajah yang dahulu terkenal dengan keramahannya itu dengan topeng garang yang siap dipertontonkan dan diperlakukan kepada siapa saja, kemiskinan ini membuat kaum hawa-nya tiada segan untuk menggadaikan kehormatannya untuk kehidupan yang "lebih baik", kemiskinan ini mengajari bocah-bocah -yang perutnya buncit-buncit karena seringnya tak terisi dengan asupan yang "bergizi"-memandang kehidupan tidak lebih dari garis batas cakrawala di ufuk timur dan barat.Sampai pada stadium ini kemiskinan membuat nilai-nilai materialistik menjadi begitu didewakan, harkat, martabat, kehormatan, bahkan aqidah menjadi begitu mudah ditukar dengan hanya beberapa lembar rupiah.
Adalah manusia yang memiliki kemampuan sesuai dengan firman-Nya " Laa yukallifulloha nafsan illa wus'aha ......" maka sesungguhnya setiap diri ini memiliki potensi untuk bisa menanak kebahagiaan dari remah-remah keceriaan sekecil apapun.Termasuk memaknai kemiskinan itu sendiri, menjadi sebuah pilihan; apakah harus dengan lantang menggugat Tuhan akan kemiskinan yang mendera atau memilih menjadi laksana nabi Ayyub alaihissalam yang sukses menghadapi keterhimpitan itu dengan pengharapannya yang besar kepada-Nya.
Dan 60 juta jiwa yang terlalu biasa dengan kata penderitaan itu tidak seluruhnya bisa menjadi se-sabar dan arif laiaknya nabi Ayyub alaihissalam,sedangkan jaman tidak lagi menghadirkan sesosok Umar yang memikul sendiri karung terigu untuk para penggodok batu, saat kisah susahnya mencari para mustahik di jaman Umar bin Abdul Azis menjadi sesuatu yang mustahil adanya.
Hingga jeritan 60 juta jiwa itu mendobrak-dobrak pintu nurani ini, menyeruak dalam puisi seorang siswi SD kelas V Inpres dari sebuah sekolah di Jawa Tengah;

RAKYAT KECIL
Pasti kecil orangnya
karena kurang gizi.
Pasti kecil dapat duitnya,
pasti kecil tempat tinggalnya,
pasti kecil keinginannya,
pasti kecil bohongnya,
pasti besar imannya,
dan besar di mata Tuhan.
Beda dengan

PEMBESAR
Pasti besar orangnya,
pasti besar dapat duitnya,
pasti besar rumahnya,
pasti besar keinginannya,
pasti besar kantong bajunya,
pasti besar bohongnya,
pasti kecil imannya,
dan kecil di mata Tuhan.

Dan aku lapar sekali.



Sukolilo, November nan lengang,2005

0 Comments:

Post a Comment

<< Home