Tuesday, January 03, 2006

Kala Izrail Menyapa

Tidak seperti biasanya, pagi itu wajah teman-teman kuliahku terlihat muram, kesedihan apakah gerangan yang berkesempatan menyapa mereka ? beberapa saat kemudian baru kuketahui bahwa salah seorang teman kami meninggal tadi malam. Innalillahi wa inna ilahi rajiun…
Kematian…. ah… masa itu pasti akan, sedang, dan telah terjadi pada setiap yang bernyawa, kullu nafsin dzaiiqatul maut , tapi sekalipun kesadaran itu telah memenuhi otakku, ada perasaan aneh yang selalu menghinggapiku setiap kali mendengar berita itu. Bukan kematian yang aku risaukan, akan tetapi pertanyaan yang selalu menggelayuti pikiranku adalah “ kapan itu terjadi padaku? “, seperti halnya temanku yang telah meninggal di usianya yang masih muda - semoga Alloh SWT menerima segala amal kebaikannya – membuktikan bahwa malaikat izrail tidak segan-segan menjemput siapaun dan kapanpun setiap makhluk-Nya saat tiba masanya. Adalah aku yang selalu terlena untuk mengingat, bahwa setiap waktu yang diurai layaknya sebait puisi : menabung maut segobang demi segobang.
Berbicara soal kapan maut akan datang, pernah dalam sebuah pelatihan, tiba-tiba salah seorang pembicara bertanya kepadaku, “ kondisi seperti apakah yang anda inginkan saat maut menjemput? “. Pertanyaan sederhana yang tidak mudah dijawab, tentunya bukan iringan requiem-nya (lagu kematiannya ) Mozart yang aku inginkan saat meregang nyawa, juga bukan pula lantunan ode-ode para pujangga terkenal sementara tubuhku menggelepar menahan sakitnya rengkuhan sang malaikat maut ( naudzubullah ), bukan…bukan itu, tak kujawab pertanyaan itu, dan membiarkan hatiku merajut doa membumbungkan kehadirat-Nya, “mendesain” kematianku.
Prosesi kematian yang diinginkan haruslah berawal dan secara kontinu dibangun dari akumulasi pemahaman tentang eksistensi, asa dan cita seseorang dalam keberadaannya di alam dunia. Para mujahid hanya memiliki satu asa dan cita yakni kesyahidan karena mereka haqqulyaqin bahwa eksistensinya di alam fana ini hanyalah semata untuk kehidupan akhirat, artinya bagi mereka tidak ada yang lebih indah dari sebuah tikaman pedang lawan saat mereka berjihad di jalan-Nya, hingga mereka diseru “ wahai nafsu muthmainnah ! pulanglah kepada rabbmu dengan penuh ridlo dan diridloi ! “ ( Q.S Al fajr : 27 – 28 ). Itulah jenak – jenak dimana mereka akan mengulum senyum “kepuasan” untuk sebuah akhir dari dhama bakti perjalanan hidup mereka di dunia.
Dan hingga saat ini aku masih “mendesain” prosesi kematianku yang kubisikkan melalui telinga lantai masjid yang keras dalam sujud - sujud panjangku hingga aku pun menemukan takdirku ……..

Kutahu…. kau senantiasa mengintip
Di sela-sela gelakku
Tersenyum sinis untuk kepongahanku
Di antara seduh sedanku
Mengolok-olok kealpaanku

Kutahu….
Saat kau menjemputku
Tak kan ada yang kuasa menggangu
Apalagi untuk lantang berkata tidak

Kutahu….
Saat kau ulurkan tanganmu
Tiba saat diri tuk melambai kepada segala isi dunia
Karena semua hanyalah titipan belaka

Kutahu…
Ketika kau merengkuhku
Jasad pun kaku membisu berselimutkan kafan
Dan Sorak cacing kan menyambut hidangan di hadapan

Kutahu….
Saat kubersua denganmu
Itulah pintu awal sebuah pertanggung jawaban
Untuk setiap kerlingan
Untuk setiap bisikan
Untuk setiap pendengaran
Untuk setiap tarikan nafas
Hingga tiba sebuah putusan

Kau tahu?
Kala tiba kau menyapaku,
aku ingin menyambutmu dengan senyuman termanisku

Sekpa, 06 Maret 2005
Al faqir ilallah

1 Comments:

At 11:11 PM, Blogger Bintang bintang said...

well nice writing akh, tapi terlalu panjang kayaknya ^_^
aku bln jago nulis juga sih, hanya saja setahuku, bikin orng tertarik untuk ngebaca di baris pertama, kedua, dan berikutnya...bikin mereka penasaran baca mpe akhir tulisan....susah juga, but practices make perfect, let's try ^_^

 

Post a Comment

<< Home