Tuesday, January 03, 2006

Asep

Wajah elok rembulan bercadarkan selaput awan kelabu, desis lirih angin pantai, bintang yang membedaki langit, suara percikan ombak mengecup kokohnya batu cadas, dan semua pemandangan elok yang tergelar malam itu di bibir pantai kenjeran tak nikmat lagi kurasa. Ada kesedihan yang meraja dalam hatiku, pandanganku kosong jauh menembus batas kaki langit, ada kegundahan yang tak terlukiskan mengoyak kalbuku. Pikiranku berusaha menelusuri setiap sudut ruang otakku, mengumpulkan kepingan-kepingan memori yang terserak. Dan tidak berselang lama muncul gambaran flashback di depanku bak layar tancap dengan otakku sebagai proyektornya.
Ada sebuah penggal cerita hidupku yang diceritakan di sana, cerita yang dimulai tepatnya setahun yang lalu, saat aku baru beberapa minggu menjalani kehidupan asingku sebagai seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya yakni ITS. Bagiku predikat baruku itu merupakan sebuah amanah berat yang harus aku panggul sekalipun memang harus kuakui ada juga perasaan bangga yang mencoba menyelinap masuk melalui celah-celah dinding bilik kalbuku. Ya.. sebuah amanah berat karena saat itu merupakan “titik klimaks” dalam usaha pencapaian cita-citaku.
Dan mungkin sebagai salah satu wujud dharma baktiku, aku beserta teman-teman satu jurusan pernah mengadakan kegiatan bakti sosial dengan cara membagikan sembako kepada masyarakat tidak mampu di lingkungan sekitar tempat pembuangan sampah LPA Keputih yang kebetulan lokasinya terletak tidak berjauhan dengan kampusku.
Dari kegiatan tersebut, awal mula aku mengenal Asep, seorang bocah yang hanya hidup ditemani oleh neneknya yang sudah tua renta. Asep, bocah berperawakan kurus ceking ini baru berusia 9 tahun, menurut cerita mbah Saliyem-begitu biasanya aku memanggil neneknya- ibu Asep meninggal sesaat setelah melahirkannya sedangkan ayahnya sendiri tidak diketahui dimana rimbanya semenjak kepergiannya untuk merantau di negeri orang saat Asep masih berada dalam kandungan.
Sekalipun hanya dibalut pakaian lusuh satu-satunya yang ia miliki, Asep berbeda dengan anak-anak lain di lingkungan itu pada umumnya, wajahnya imut, menggemaskan serta otaknya juga cukup encer. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, ia dan neneknya harus rela berprofesi sebagai pengemis jalanan sehingga tidak mengherankan jika sampai pada usianya itu ia sama sekali belum pernah merasakan bagaimana rasanya bersekolah. Ada perasaan iba yang menusuk-nusuk hatiku namun aku bingung, berpikir bagaimana caraku untuk sedikit menyingkap tabir kesedihan yang sesekali tampak menggelayuti raut muka bocah tak berdosa itu. Pertemuan itu membuatku bersimpati kepadanya, sesekali aku bertandang ke rumah-atau lebih tepatnya gubuk- yang ia dan neneknya tinggali, entah apakah itu hanya untuk memberikan baju-baju bekas yang sengaja aku kumpulkan dari keluarga teman-temanku yang berdomisili di Surabaya untuk Asep dan mbah Saliyem, ataupun dengan memberikan uang sekadarnya.
Dan tidak terasa kebiasaanku itu telah berlangsung sekitar dua mingguan. Hingga pada suatu saat aku baru sadar kalau Asep juga perlu mendapatkan pendidikan layaknya anak-anak seusianya, untuk itu aku memutuskan setiap hari senin sampai jumat ba’da sholat isya aku mengajarinya membaca, menulis, mengaji dan berhitung di gubuknya. Sekalipun rutinitas keseharianku yang sudah cukup padat oleh kegiatan perkuliahaan dan sebagai aktivis lembaga dakwah kampus, kebiasaan bertandang ke gubuk Asep bukanlah suatu beban bagiku karena di gubuk itu aku disambut dengan tatapan teduh dan bijak mbah Saliyem yang sering membuatku merasa nyaman untuk bercerita tentang segala macam permasalahanku, wajah imut Asep, serta he….he.. singkong rebus yang selalu disajikan untukku tentunya.
Dalam keseharianku bersama Asep terkadang aku menemukan hal-hal yang menarik darinya, seperti pada petang itu, aku dan Asep bercakap-cakap sementara mbah Saliyem sudah asyik masyuk di pulau kapuknya.
“Sep, kalo’ udah gede mau jadi apa?” tanyaku
Sejenak berfikir kemudian ia menjawab dengan raut muka datar, “Ah, Asep mau sekolah tinggi ( kuliah maksudnya ) biar bisa nolong banyak orang kaya’ Mas”.
Mendengar jawabannya itu aku spontan tertawa, namun segera saja kuhentikan tawaku saat kulihat raut mukanya masih datar tidak berubah, kepasrahan dan kepesimisan tergambar jelas di wajahnya , mungkin bagi dia hal itu mustahil tebakku.
“ Trus kalo’ udah sekolah tinggi mau ngapain lagi ?”, kataku lirih.
“ Udah selesai kuliah, Asep mau bikin sekolah gratis untuk temen-temen kaya’ Asep “ jawabnya.
Sampai disini lidahku keluh, ada suara gemuruh dalam setiap palung otak dan dadaku. Asep sekalipun dia masih kecil, tetapi punya cita-cita yang sangat mulia sementara sampai saat ini pun cita-cita itu belum pernah sedikit pun terlintas dalam radar kalbuku. Astagfirullah…..Engkau menyadarkanku melalui lisan bocah ini.
“ Mas, boleh nggak Asep nanya’ ? “ tanyanya memecah lamunanku.
“ Boleh, kenapa tidak ? “jawabku.
“ Kenapa Mas sangat baik sama saya, padahal orang – orang, banyak yang nggak peduli sama Asep ? “ Suaranya lirih.
“ Setiap orang harus saling tolong menolong terhadap sesamanya sehingga kelak ketika kita butuh bantuan, orang lain pasti akan menolong kita selain balasan dari Allah SWT tentunya . Saat ini Mas bisa nolong Asep, besok mungkin Asep yang akan menolong Mas ” uraiku.
“ Trus sekarang, Mas minta tolong apa?, Asep siap bantu “ lanjutnya.
“ Ehm…Mas minta supaya Asep tekun belajar serta giat membantu Mbah , Asep mau ?” tanyaku.
“ Siiaaap bos “ jawabnya sambil tergelak, memecah heningnya malam.
“ Tertawalah, uapkan kegembiraanmu yang bercampur beban serta keletihanmu bekerja seharian, wahai adikku ”, gemuruh suara yang menggaung di lorong-lorong hatiku.
Hitam pekat semakin mengeratkan setiap simpulnya menyelimuti bumi, angin berdesir membumbungkan doa kami yang memancar dari celah-celah genting gubuk reot itu.
****
Alhamdulillah… Asep bisa sekolah, dosen pembina kerohanian Islam-yang cukup kenal akrab denganku- bersedia menjadi bapak asuh Asep, setelah aku menceritakan kondisi Asep seperti apa. Siang itu aku benar-benar gembira, ingin segera kubagikan kegembiraan ini kepada Asep dan mbah Saliyem. Namun jumat siang itu aku harus mengikuti aksi di gedung Grahadi, bergabung dengan teman-teman dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, menentang kebijakan pemerintah yang seenaknya menaikkan tarif dasar listrik ( TDL ), telepon, dan BBM sehingga kuurungkan niatku semula untuk bertandang ke gubuk Asep, nanti sore saja pikirku .
Siang itu sehabis sholat jumat, di depan gedung Grahadi sudah berkumpul ratusan mahasiswa dari berbagai elemen yang memiliki tekad yang sama untuk menyuarakan hati nurani rakyat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Jatim pada khususnya yakni menolak kenaikan TDL, telepon, dan BBM. Aksi berjalan cukup panas, karena hingga sang surya hampir memasuki peraduannya, Pak Gubernur yang saat itu masih berada di dalam gedung Grahadi, menolak untuk menemui para pengunjuk rasa. Suasana semakin mencekam saat para provokator berhasil masuk dalam barisan mahasiswa dan memprovokasi mahasiaswa untuk menerobos pagar besi gedung Grahadi yang dijaga polisi tiga lapis, bentrokan pun tak terelakkan. Ratusan mahasiswa yang tak bersenjata menjadi bulan-bulanan polisi yang bersenjatakan tongkat rotan. Beberapa temanku yang berada di garis depan bersamaku terkena pukulan polisi,ada yang kepalanya benjol sebesar telur ayam, bahkan ada pula yang harus di bawa ke rumah sakit oleh teman-teman mahasiswa dari Fakultas Kedokteran Unair karena kepalanya bocor dan aku sendiri , Alhamdulillah hanya menderita luka kecil pada tanganku. Setelah situasi mereda, kami berusaha untuk mengecek jumlah peserta aksi, ternyata koordinator lapangan (Korlap) kami tertangkap polisi. Untuk membebaskannya, malam itu kami mengirimkan wakil kami ke Polda sementara teman-teman yang lain menunggu di Balai Kesenian Pemuda.
Waktu begitu cepat berlalu, pada pukul setengah sepuluh malam, Korlap kami baru boleh dibebaskan. Usai pembebasan itu kami pulang ke kos-kosan masing-masing. Ketika sampai di pintu pagar kos-kosan aku baru teringat kalau sedianya malam ini aku akan menceritakan kabar gembira kepada Asep sehingga kubatalkan niatku untuk masuk ke rumah, tak kuhiraukan rasa letih yang merajai tubuhku karena yang tergambar dalam anganku adalah kegembiraan Asep dan Mbah Saliyem saat mendengar kabar itu. Dan aku pun kemudian segera beranjak pergi ke gubuk Asep, mudah-mudahan ia belum tidur.
Ketika hampir sampai di gubuk Asep, aku melihat kerumunan orang di bangunan reot itu, hatiku mulai cemas memikirkan apa yang telah terjadi, semakin kupercepat langkah kakiku, ingin rasanya kulipat jalan ini biar cepat sampai di gubuk Asep. Sesampainya di gubuk tua itu aku bagaikan tersengat aliran listrik ketika di dalam gubuk itu kulihat jasad mbah Saliyem terbujur kaku, Innalillahi wa innailahirajiun, dimana Asep, dimana dia pekikku namun tak terucap karena tersekat dalam tenggorokanku. Dari mulut warga kuketahui bahwa Asep dan mbah saliyem tadi sore kecelakaan, sebuah mobil sedan dengan keras menabrak mereka di jalan dekat Galaksi Mal saat hendak menyeberang jalan untuk pulang, Mbah Saliyem langsung meninggal di tempat kejadian, sementara Asep dilarikan ke rumah sakit Dr. Soetomo. Kucoba dengan sekuat tenaga untuk menahan tubuhku agar tidak limbung, karena kaki dan tanganku terasa sangat lemas, lemas sekali.
Suara lirih istighfar tak lepas-lepasnya keluar dari bibirku, malam itu juga aku segera ke rumah sakit. Di sana kulihat tubuh Asep terbaring lemah tak berdaya dengan luka yang cukup parah, kata dokter mudah-mudahan Asep bisa melalui masa kritisnya malam ini sekalipun peluangnya sangat kecil sekali, akan tetapi bagiku manusia berprediksi tetap Allah jualah yang menentukan hidup mati hamba-Nya. Ada kesedihan yang menggantung di kedua kelopak mataku, yang akhirnya tercurahkan lewat butiran-butiran lembut air mata. Kubisikkan kalimat tahlil di telinganya berharap di alam bawah sadarnya ia mau bersama melafalkannya. Cukup lama aku membisikkann kalimat tahlil dan istighfar di telingannya sampai akhirnya…. peristiwa itu terjadi. Saat aku harus merelakan dengan ikhlas kepergian Asep untuk berjumpa dengan sang Kholiq, saat aku harus puas dengan pertemanan duniaku dengannya sekalipun pastinya Asep akan tetap hidup di hatiku ……
Malam itu kurasakan begitu panjang, berbagai peristiwa terjadi, dimana bagiku semuanya merupakan pelajaran berharga, pelajaran tentang perjuangan suci antara hidup dan mati ibu Asep untuk melahirkan anaknya yang semakin mengeratkan tali cintaku kepada ibu bapakku, petuah-petuah bijak mbah Saliyem yang meneduhkanku, serta kesabaran dan kegigihan Asep yang membuatku belajar untuk selalu optimis memandang kehidupan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home