Tuesday, January 03, 2006

Ibuku dan Air Mata

Kucium tangan yang mulai berkeriput kulitnya itu, kuhirup berkah yang dititipkan Tuhanku melalui tangan ini, tangan yang selalu dengan mudahnya membelaiku saat aku gundah, tangan yang setia mengiringiku mengisi lembaran-lembaran kehidupanku. Pemilik tangan itu yang pertama kali mengenalkanku dengan kata cinta. .
Tanpa sadar cukup lama aku asyik masyuk dengan tangan itu, butiran-butiran lembut air mata ibuku menggugah kesadaranku, aku mendongak, yang kutemui danau kasih sayang menggenang di matanya. Air mata- yang aku sendiri sampai kini tak tahu penyebabnya apakah sebuah ekpresi kesedihan ataukah kebahagiaan yang tidak menemukan kata untuk menerjemahkannya- selalu mengiringi kepergianku ke Surabaya, tempatku menuntut ilmu, air mata yang selalu berhasil membuat kakiku terasa berat untuk melangkah meninggalkan kampung halamanku.
“ Hati – hati Nak “ pesannya singkat sembari mengusap air mata yang mulai menganak sungai. Aku menggangguk takzim. Aku bergegas pergi, mencoba untuk tidak menatap mata yang pastinya akan senantiasa lekat mengiringi keberangkatanku hingga bayanganku hilang dari pandangannya
*****
Bus yang kutumpangi bergerak stabil, tak kuhiraukan pemandangan di luar yang tersaji melalui jendela bus dimana biasanya aku selalu tertarik untuk mengamatinya setiap kali bepergian. Tiba tiba bus ini layaknya sebuah mesin waktu yang mengantarkanku akan masa laluku. Ya…. Aku terjerembab dalam flashback film kehidupanku, mencoba untuk mengumpulkan setiap potongan memoriku yang terserak di sudut – sudut ruang pikirku. Dan tak berselang lama tergelar sebuah drama, drama yang dimulai dua puluh satu tahun yang lalu saat tangis seorang bayi mengoyak kesuyian yang membalut siang di pertengahan bulan september, tangis seorang bayi yang mengubah suasana cemas menjadi pekat dengan keharuan dan senyuman. Turut menguatkan suasana melankolik itu, tampak sosok wanita dengan kasihnya, menciumi buah hati yang baru dilahirkannya sembari tak putus-putusnya bibirnya berucap syukur kehadirat-Nya.
Berikutnya pementasan itu mempertotonkan bagaimana sosok wanita-yang merupakan tokoh utama drama - itu hampir selalu ada dalam keseharian si bocah. Mulai dari si bocah masih dalam buaian , merangkak, kemudian tertatih-tatih untuk menjejakkan langkah pertamanya, hingga sang bocah menjadi sosok yang dengan gagahnya mampu menantang matahari. Wanita itu tak pernah tunduk oleh rasa lelah rupanya. Tak dihiraukannya rasa kantuk karena setiap malam terusik oleh suara tangis, tak digubrisnya rasa lelah yang merajai tubuh setelah seharian melayani sang buah hati, tak pernah pupus semangatnya untuk memahatkan senyum di wajah putra tercinta sekalipun hatinya dibekap kesedihan. Setiap kali sang bocah ingin berkeluh kesah maka cukup mudah bagi si bocah menemukan telinga ibunya, saat sang buah hati bahagia maka tak perlu waktu lama untuk bisa melihat senyuman terlukis di wajah wanita itu dengan disertai puji syukur atas nikmat yang dianugerahkan kepada putranya.
Ah…. wanita –yang saat ini mulai ringkih itu- selalu setia menuntunku mengisi setiap lembar catatan kehidupanku dengan lukisan cinta, sosok yang doanya selalu menyertaiku dalam mengurai waktu . Ya.. wanita di atas adalah ibuku, dan bocah yang sampai saat ini belum - kalau tidak boleh disebut tidak akan- bisa membalas kebaikan wanita mulia itu adalah aku. Adalah aku seorang anak yang berhasil membuat ibuku tampak jauh lebih tua dari usia beliau sebenarnya dengan segala beban yang disebabkan olehku. Ibuku dengan lautan kesabarannya selalu tabah menghadapi segala kenakalanku. Adalah ibuku yang menukar setiap kedurhakaanku dengan samudera maafnya.
“Astaghfirulllah ….. Ya Allah kasihilah dan lindungi orang tuaku layaknya kasih sayang mereka kepadaku yang tak lekang oleh waktu, amin…..” suara yang menggema dalam palung hatiku.
******
“ Wilangun….wilangun….. terakhir…” pekik kondektur mengembalikanku ke bumi, sudah sampai rupanya. Dan panasnya kota Surabaya pun telah menyambutku, kota yang menjadi kawah candradimuka untuk mewujudkan salah satu impian ibuku.
“ Selamat datang Surabaya, dengan bekal air mata ibuku akan kutaklukkan kepongahanmu “.

Candi, 15 Desember’04
Sebuah Kado Kecil untuk Cinta Pertamaku di “hari Ibu”

0 Comments:

Post a Comment

<< Home