Monday, January 02, 2006

Andai Tiada Kata Maaf

Dan adalah suatu keniscayaan untuk bersyukur ketika Alloh SWT memperkenankan kita berkumpul dan secara intens mengurai waktu dengan sahabat - sahabat yang tak pernah lekang untuk mengagungkan asma-Nya dalam setiap sudut waktu dan ruang yang dimilikinya sebab kecintaan mereka yang mendalam kepada Sang Maha Pecinta. Hingga serat - serat waktu yang kita rajut bersama mereka menjadikan ukhuwah ini penuh dengan warna cinta . Saat jiwa ini dahaga, telaga hati merekalah yang akan siap sedia mempersilahkan kita untuk mereguk air sejuknya. Wajahnya yang teduh, senyumnya yang menyegarkan, dan tuturnya yang membangkitkan jiwa yang mati adalah bagian dari kenikmatan - kenikmatan-Nya, bersama merekalah, kita menanak kebahagiaan dari remah - remah keceriaan yang akhirnya membuat kita untuk tidak tenggelam dalam lautan cobaan kehidupan. Sekalipun tidak bisa dipungkiri, di luar gambaran indah tersebut, ada saat - saat dimana ikatan ukhuwah itu diuji kekuatannya : ada janji - janji yang terabaikan, lisan yang menorehkan luka,khilaf dan alpa yang memungkinkan wajah cinta itu dalam sekejap berubah menjadi kebencian, karena pada hakikatnya cinta dan benci itu sendiri hanya dibatasi membran yang sangat tipis. Dan dalam jenak - jenak dimana kita telah mendholimi saudara kita, terkadang kata "afwan" begitu mudahnya kita tebarkan, tanpa sedikit pun ada sebuah penyesalan akan kesalahan yang telah dilakukan, bahkan jika kemudian akh Rahwana pun telah bersalah dengan menculik Dewi Sinta dari sisi akh Rama, maka akh Rama pun harus dipaksa untuk menelan kata "afwan" sebagai bentuk ke-legowo-an untuk menerima bentuk kelaliman akh Rahwana. Sehingga pada kasus ini kata "afwan" seolah menjadi password untuk men-delete rasa sesal dan tekad untuk melakukan perbaikan diri dari ruang hati para penebar mantra "afwan".
"Afwan" telah mengalami paradoksisasi - pembalikan filosofi - dari makna yang sesungguhnya, dan kata ini menjadi semacam justifikasi pelakunya untuk melakukan artifisialisasi sebuah "kebenaran". Dengan kata - kata itu, seolah - olah bopeng - bopeng kekhilafan di-make up sedemikian rupa hingga menjadi sangat menarik untuk disodorkan secara paksa kepada saudaranya. Dan proses rasionalisasi kesalahan tersebut telah menjadikan standart nilai kesalahan- jika kita memandangnya dalam prespektif syariah- yang sejatinya memilki "pakem" dan berlaku universal menjadikannya relativistik. Dalam ruang interaksi yang semakin lebar, ketika dikaitkan dengan interaksi makhluk dan Sang Kholik menjadikan kesalahan - kesalahan itu tidak melahirkan apa yang disebut sebagai taubatan nasuha, karena kesalahan itu akan dilakukan secara berulang - ulang, tanpa menyediakan sedikit pun ruang sesal di bilik kalbunya sebagai makhluk-Nya yang hina.
Jika kita me-napaktilas-i sirroh kaum terdahulu baik berasal dari Al Qu'an maupun hadits, menyimpulkan kita bahwa ada korelasi yang sebanding antara permohonan maaf untuk kesalahan personal maupun kolektif dengan proses pengampunannya . Dimana hal ini menegaskan bahwa dalam sudut pandang "pelaku", kesalahan harus ditempatkan sesuai dengan proporsosinya sebagai "sesuatu" yang melahirkan proses muaqoba yang setara dengan eskalasi kesalahan itu sedangkan pe-maaf-annya sendiri terindikasi dalam proses perubahan predikat "bersalah" menjadi " lebih baik".

Maaf……
Seuntai kata yang senantiasa terucap
dari telaga hati
yang telah kering dari sesal
menguapkan ketakutan akan murka-Nya
mengendapkan nokhta hitam

Andai tiada kata maaf ….
Ketika maaf beralih rupa menjadi sebuah pembenaran
Bagi setiap kelaliman
Bagi setiap kesalahan

Andai kata maaf tiada ….
Saat ia kehilangan wajah teduhnya
Saat ia tak mampu lagi memahatkan senyum ikhlas
di wajah saudaranya

Sebelum kata maaf tiada makna….
Aku berharap saudaraku terbebas
dari kedhaliman tanganku
khianat lisanku
kelamnya lorong-lorong kalbuku



Menjelang berbuka, 5 Ramadhan 1426 H
Sabillah