Saturday, June 10, 2006

Topeng

Kita boleh saja jumawa, berbangga, besar kepala, saat segala pujian dilekatkan pada diri ini, saat orang memberi arti positif serta melabeli kita dengan predikat tertentu. Kiranya segala label itu minimal menunjukkan dua hal; pertama, sebuah pengakuan eksistensi dan kedua, hal itu menjadi salah satu parameter apresiasi lingkungan sekaligus mengukur sejauh mana kontribusi kita.

Sepanjang kita masih memilki dinding hati yang secara "built in" bisa ditembus celah-celahnya oleh bisikan setan, maka barangkali adalah suatu "siksaan" tersendiri untuk tidak mengubah kata "aku" menjadi "AKU" saat kepopuleran itu disematkan pada nama kita.

Hingga kemudian betapa banyak terjadi bahwa keangkuhan itu pada akhirnya bermetamorfosa menjadi kurungan kita untuk tidak menjadi diri sendiri. Saat keangkuhan itu muncul, kita akan lelah untuk mengenakan berbagai macam corak "topeng" agar riuh rendah pujian itu senantiasa diperdengarkan di telinga kita, agar wajah kekaguman itu selalu terpampang pada setiap orang yang menatap diri yang sejatinya dhoif ini, serta yang tidak kalah penting adalah agar "karpet merah" selalu tergelar untuk langkah-langkah pongah kita.

Sampai di sini, kepopuleran akan merenggut independensi kita untuk melakukan sesuatu bahkan pada hal-hal yang prinsip serta merupakan sebuah "absolut demand" sekalipun. Efek kepopuleran pada stadium ini hanya akan mem-peti es-kan diri kita, hingga boleh saja bergemuruh orang mengagumi diri ini tetapi sejatinya kita tidak ubahnya mayat hidup dengan seribu rupa.

Sangat aneh jika kemudian berduyun-duyun orang menukar apapun demi sebuah kepopuleran kecuali memang orang-orang tersebut sudah siap untuk memajang dirinya dalam "estalase sejarah" tanpa dia tahu dan berkehendak untuk bertanya " untuk apa, mengapa dan bagi siapa ia melakukannya? ". Hingga tak ada bedanya mereka dengan boneka - boneka peraga .......

Nol, Juni 2006